Rabu, 20 Januari 2010

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI



oleh : BUBUNG NIEZAR PAMUNGKAS
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Keluarga yang harmonis dan mengikuti aturan rumah tangga ataupun mengikuti sesuai dengan ADRT adalah hal yang sangat penting untuk melanggengkan ikatan rumah tangga tersebut.sehingga harus bisa menjaga dan memelihara setiap individunya untuk bisa memberikan yang terbaik kepada suami ataupun isteri. Hal itu dikaji dalam ilmu Fikih Munakahah yang menjelaskan tentang bahagimana hak dan kewajiban suami isteri dalam rumah tangga.

2. Tujuan
- Mengetahui dan memahami bagi yang sudah dan yang akan menjalin rumah tangga akan seberapa jauh kewajiaban yang harus dilakukan dalam rumah tangga, baik untuk suami ataupun untuk isteri.
- Menyadarkan betapa pentingnya kewajiban bagi suami isteri dalam rumah tangga.
- Menjalin rumah tangga yang penuh tanggung jawab untuk mempertahankan jalinannya hingga akhor hayat.

3. Identifikasi Permasalahan
Ada beberapa permasalahan yang disajikan dalam makalah ini, Yakni : Hak dan kewajiban suami isteri dalam rumah tangga.
A. Hak dan kewajiban bersama
B. Kewajiban isteri terhadap suami
C. Kewajiban Suami terhadap Isteri
D. Hak Rohaniah (Bukan Kebendaan)
E. Nafkah Kerabat
F. Pemeliharaan Anak (Hadanah)

BAB II
PEJELASAN

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
DALAM RUMAH TANGGA
A. Hak dan Kewajiban Bersama
Apabila suatu akad nikah telah dilakukan secara sah, maka akad nikah tersebut akan menimbulkan akibat, yakni hak dan kewajiban selaku suami isrtri, yang akan mampu mewujudkan ketentraman dan ketenangan sehingga sempurnalah kebahagiaan suami isteri tersebut. Akad nikah itu akan melahirkan keluarga yang kecil dan terus menjadi besar yang harus dibina dengan pembinaan yang merupakan tanggung jawab suami isteri. menurut ajaran islam pembentukan keluarga itu sifatnya alamiah bukan buatan. Oleh karena itu suatu keluarga dapat terbentuk dengan perkawinan dan ada kelanjutan untuk keturunan. Karena pembentukan keluarga dengan buatan seperti pengangkatan anak, tidak diakui dalam islam.
Dalam rumah tangga masing-masing suami isteri mempunyai hak dan kewajiban, diantaranya :
1. Suami isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia dan saling memberikan bantuan lahir batin.
2. Suami isteri wajib memikul kewajiban yang luhur untuk membina dan menegakan rumah tangga yang bahagia lahir dan batin.
3. Suami isteri memiliki kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasan
4. Suami isteri wajib memelihara kehormtan masing-masing.
Agar kewajiban tersebut berjalan dengan baik, maka harus bertempat tinggal yang tetap dan disepakati oleh keduanya, dan suami bertindak sebagai kepala rumah tangga, sedangkan isteri nertindak sebagai ibu rumah tangga.
Jadi kedua-duanya mempunyai hak dan kewajiban
Firman Alloh Q.s an-Nisa : 19
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata . dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
sabda Rosululloh saw :
قَالَ رَسُولُ الله صلى الله ...اَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ اِيْمَانُا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَاُركُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ رواه الترميذى
Bersabda Rosululloh saw. : orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik kepada isterinya. (HR at-Tirmidzi)

B. Kewajiban Isteri terhadap Suami
1. Isteri wajib taat kepada suaminya.
Dalam Firman Alloh Q.s an-Nisa : 34
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka) . wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya , Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya . Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
yang dimaksud dalam ayat ini ialah ta’at kepada Alloh dan kepada suami, dan bagaimana seharusnya sikap isteri terhadap suaminya. Isteri harus demikian karena suami itu telah memelihara isterinya dengan sebagai kepala rumah tangganya.
2. Ayat diatas juga menerangkan, isteri wajib memelihara dirinya sendiri dibalik pembelakangan suami terutama jika suami bepergian.
3. Isteri memimpin rumah tangga suaminya.
Sabda Rosululloh saw :
قَالَ رَسُولُ الله صلى الله ...وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَاعِيَتِهَا متفق عليه
Isteri itu pemimpin rumah tangga suaminya dan ia diminta oleh Alloh pertanggung jawabannya atas pimpinannya itu HR mutafaqun alaih

C. Kewajiban Suami terhadap Isteri
Kewajiban suami terhadap isteri ada yang berbentuk kebendaan seperti nafkah dan mahar, dan ada yang berbentuk rohaniah seperti perlakuan adil jika suami berpoligami.
1. Kewajiban Nafkah dan Pengertiannya.
Nafkah menurut bahasa adalah keluar dan pergi, menurut istilah ahli fikih adalah pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh orang yang wajib memberi nafkah kepada seseorang yang berhubungan dengan kebutuhan hidup.
Al-imam Taqiyyudin dalam kitab Kifayatul Akhyar menjelaskan, ada 3 sebab yang menimbulkan wajibnya nafkah, yaitu :
a. hubungan kerabat, keluarga,
b. hubungan pemilikan tuan dengan budaknya
c. hubungan perkawinan.
Ditinjau dari orang yang menerima nafkah, nafkah itu terdiri dari nafkah isteri, nafkah kerabat dan nafkah barang atau sesuatu yang dimilki.
2. Nafkah Isteri dan Dasar Hukunya
Dasar hokum Nafkah isteri dalam Q.s al-Baqoroh : 233
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
dan firman Alloh lainnya dalam Q.s al-Tholaq : 6
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,
Sabda Rosululloh saw :
عَنْ مُعَاوِيَةَ اَلْقشَيْرِ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُوْلَ الله مَا حَقُّ زَوْجَةِ اَحَدِنَا عَليَهْ ِ؟ قَالَ تُطْعِمُهَا اِذَا طَعَمْتَ وَتَكْسُوْهَا اِذَاكْتَسَيْتَ وَلاَ تَضْرِبِ الوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجَرْ اِلاَّ فِى البَيْتِ
Dari mu’awiyah Al-Qutsyairy berkata dia : saya bertanya, wahai Rosulalloh apakah hak seorang isteri dari suaminya? Sabda Rosululoh : Engkau memberi makan kepadanya apa yang engkau makan, engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian, jannganlah engkau pukul mukanya, janganlah engkau memisahkannya, kecuali dalam satu rumah.
Ibnu Qudamah berkata : para ahli ilmu telah berpendapat tentang kewajiban suami membelanjai isterinya kecuali bila isterinya itu durhaka atau nusyuz.
Dari keterangan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa :
a. Suami wajib memberi nafkah kepada isterinya berupa pakaian, makanan dan tempat tinggal (kebutuhan hidup)
b. Suami melaksanakan kewajiban memberi nafkah itu sesuai dengan kemampuannya.
3. Syarat-syarat Isteri Berhak Menerima Nafkah
Dengan adanya ikatan pernikahan yang sah, maka mewajibkan suami memberikan nafkah terhadap isterinya, dan isteri menjadi terikat sehingga harus ta’at terhadap suaminya. Suami berkewajiban memenuhi semua kebutuhan isteri, memberi belanja kepadanya, selama ikatan suami isteri itu masih berjalan dan isteri tidak pernah durhaka terhadap suaminya, karena bila isteri durhka bisa tidak berkewajiban memberikan nafkah terhadap isterinya. Firman Alloh dalam Q.s an-Nisa : 34
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Syarat-syarat isteri berhak menerima nafkah suaminya:
1. telah terjadi akad nikah ang sah.
Bila diragukan kesahan nikahnya mka isteri belum berhak menerima nafkah dari suaminya.
2. isteri telah sanggup melakukan hubungan sebagai suami isteri dengan suaminya.
3. isteri telah terikat atau telah bersedia melaksanakan semua hak suami.
Bila syarat-syarat tersebut diatas terpenuhi maka pelaksanaan pemberian nafkah itu dilakukan oleh suami apabila :
1. Istri telah siap melakukan hubungan suami istri. Dengan bersikap istri telah bersedia pindah kerumah suaminya.
2. Bila suami telah memenuhi hak-hak istrinya.
3. Bila keadaan suami belum snggup melakukan hak istri, seperti suami dalam keadaan sakit jiwa, dalam tahanan dan seumpamanya. Sedangkan istri telah sanggup melaksanakan kewajiban-kewajibannya, dalam hal ini tetap istri menerima nafkah haknya.
Hak nafkah istri menjadi gugur apabila :
a. Akad nikah mereka ternyata batal atau fasid ruksak
Misalnya ternyata kedua suami istri tersebut mempunyai hubungan mahram.
b. Istri nusyuz
c. Istri murtad, pindah agama lain
d. Istri melanggar perintah Alloh yang berhubungan dengan kehidupan suami istri, seperti istri meninggalkan rumahnya tanpa izin dari suami serta tidak disertai mahram dan sebagainya.
e. Istri dalam keadaan sakit yang oleh karenanya tidak bersedia serumah dengan suminya. Kecuali bila bersedia serumah dengan suaminya
f. Pada waktu akad nikah istri masih belum baligh, dan belum serumah dengan suaminya.
“Nabi Muhammad pada waktu nikah dengan Aisyah beliau belum serumah dengan suaminya selama 2 tahun, dan pada waktu itu Rosululoh saw tidak memberikan Nafkah kepadanya.”
4. Jumlah Nafkah yang harus diterima oleh Isetri
Al-Qur`anul Karim dalam surat At-halaq ayat 6 dan 7 , surat Al-Baqoroh ayat 233 dan surat serta hadist lain yang berkaitan dengan nafkah, tidak ada yang menyebutkah jumlah kadar berapa nafkah yang harus diterima oleh isteri, hanya diberikan gambaran dengan yang patut dan cukup untuk keperluan isteri tersebut sesuai dengan penghasilan suami.
Dengan demikian jumlah nafkah itu berbeda menurut tempat, zaman dan keadaan suami istri tersebut.
Apabila ternyata suami kikir, tidak memberikan nafkah yang wajar, maka isteri berhak mengambil haknya dari suami, untuk keperluannya yang wajar walaupun tidak diketahui oleh suami. Hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim, Abu Daud, An-Nasa`I dari Aisyah seperti yang telah disebutkan sebelum ini dalam peristiwa Hindun dan Abu supyan yang kikir, Rosululloh mengatakan ambilah apa yang mencukupi untuk kamu dan anak-anak kamu dengan cara yang baik”
Dalam hal itu, bila isteri mempunyai hutang karena untuk memenuhi kebutuhannya, maka suami harus membayar hutang tersebut, kecuali bila isteri merelakannya. Tapi tetap menurut hak nafkahnya maka suami wajib membayar nafkah tersebut.
5. Nafkah Wanita Beriddah
Wanita yang dalam keadaan iddah, baik iddah roj’I atau iddah hamil berhak mendapat hak suaminya.
Firman Alloh dalam Q.s At-Thalaq : 6
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu,
Dalam hal ini wanita yang hamil berhak mendapatkan nafkah baik dia dalam keadaan iddah talak raj’I atau thalaq bain ataupun dalam iddah kematian.
Juga Firman Alloh dalam Q.s At-Thalaq : 6
dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin
para ahli fikih berbeda pendapat tentang thalaq bain, apakah masih berhak menerima nafkah atau tidak, jikalau dia dalam keadaan hamil ? pendapat yang kuat mengatakan dia berhak mendapat nafkah.

D. Hak Rohaniah (Bukan Kebendaan)
1. Bergaul dengan Perlakuan yang baik
Firman Aloh swt Q.s An-Nisa : 19
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
ayat ini menjelaskan supaya bergaul dengan sewajarnya, dan berkewajiban saling menghormati, bersikap lemah lembut dan menhindari dari hal yang tidak diinginkan.
2. menjaga isteri dengan baik
suami berkewajiban menjaga istrinya, memelihara istri dan segala sesuatu yang menodai kehormatannya, menjaga harga dirinya, menjunjung tinggi kehormatannya dan kemuliaannya sehingga citranya menjadi baik.
Sabda Rosululloh saw :
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ اَنَّ رَسًُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ قَالَ اَنَّ الله يُغَاُر وَاَنَّ المُؤْمِنَ يُغَاُر وَغِيْرَةُ الله اَنْ يَأْتِى العَبْدُ مَا حَرَّمَ عَلَيْهِ رواه البخارى
dari Abi Hurairoh, bahwa sesungguhnya Rosululloh bersabda : sesungguhnya Rosululloh mempunyai rasa cemburu dan sesungguhnya seorang mukmin juga mempunyai rasa cemburu, cemburu Alloh ialah agar seseorang hamba-Nya tidak melakukan perbuatan yang haram (HR Bukhori)
3. Suami mendatangi Isterinya
Firman Alloh dalam Q.s Al-Baqoroh : 222
apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sehubungan disini Ibnu Hazmin berpendapat bahwa suami wajib memberikan nafkah kepada isterinya sekurang-kurang satukali sebulan jika ia mampu, kalau ia tidak melakukan hal ini berarti ia telah durhaka kepada Alloh swt. Para ulama sependapat dengan Ibnu Hazmin.dengan catatan apabila suami tidak punya halangan dalam memberikan nafkah bathin tersebut.
Imam As-syafi’i berpendapat bahwa nafkah bathin itu tidak wajib, karena nafkah bathin itu hak suami bukan kewajiban suami; jadi terserah kepada suami itu sendiri, apakah ia mampu atau tidak menggunakan haknya
Imam Ahmad menetapkan bahwa suami wajib memberikan nafkah bathin kepada isterinya 4 bulan sekali, paling lama 6 bulan sekali, alasannya, pada suatu ketika Umar Ibnu Khottob meronda kota madinah dan ia lewat didepan rumah seorang perempuan yang sudah lama ditinggalkan suaminya ke medan perang, wanita itu dalam keadaan rindu yang sangat terhadap suaminya, untuk menanyakan masalah ini Umar pergi ke rumah Hafsah anak beliau, lalu Umar bertanya : wahai putriku, berapa lama seorang perempuan tahan ditinggal lama oleh suaminya? Jawab Hafsah : Subhanalloh kok ayah bertanya seperti itu padaku. Kata Umar : andai kata aku tidak ingin memperhatikan kepentingan kaum muslimin aku tidak akan bertanya seperti itu, lalu Hafsah menjawab : 5 smpai 6 bulan. Kemudian Umar menetap batas waktu tugas bagi tentara untuk bertempur, ssebulan untuk pergi kemedan juang, empat bulan untuk bertempur, sebulan agi untuk kembali pulang.
Berdasarkan sebuah hadist, memberikan nafkah kepada isterinya adalah termasuk ibadah atau sedekah yang mendapat fahala dari Alloh swt :
قاَلَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ وَلَكَ فِى جِمَاِع زَوْجَتِكَ اَجْرٌ قَالُوا يَارَسُوْلَ الله أَيَأْتِى اَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا اَجْرٌ ؟ قَالَ أَرَيْتُم لَوْ وَضَعْهَا فِى حَرَامٍ اَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ فَكَذَالِكَ اِذَا وَضَعْهَا فِى حَلاَلٍ كَانَ لَهُ اَجْرٌُ رواه مسلم
Bagi kamu mendatangi isterimu adalah suatu pahala, lalu para sahabat bertanya: Wahai Rosulalloh apakah seseorang dianatara kita yang menyalurkan syahwatnya akan mendapatkan pahala? Jawab Rosul : bagaimana pendapatmu kalau dia seseorang yang menyalurkan syahwatnya pada tempat yang haram. Apakah itu merupakan suatu dosa? Betul, jawab sahabat, begitu juga jika ia letakan syahwat itu pada tempat yang halal, maka akan jadi pahala (HR Musim)
Oleh karena, memberikan nafkah bathin ini merupakan ibadah, maka islam mengatur tatacara tatakramanya, antara lain harus membaca ta’ud dan basmalah, ditempat yang sunyi dan tertutup, saling menghormati dan sebagainya.

E. Nafkah Kerabat
1. Pengertian dan dasar hukumnya
Sebagian besar para ulama sepakat bahwayang wajib diberi nafkah adalah keluarga dekat, yang memerlukan nafkah saja yang wajib diberinya, sedangkan keluarga jauh tidak.
Seperti yang telah dijelaskan, keraat itu meliputi garis lurus ke atas seperti : bapak, nenek dan seterusnya. Garis lurus ke bawah seperti : anak, cucu dan seterusnya. Dan juga garis ke samping seperti : paman, bibi dan sebagainya.
Imam malik berpendapat bahwa yang wajib diberi nafkah itu hanyalah anak dan orang tua/ibu bapak saja, sedangkan yang lain, seperti kakek, nenek, cucu, dan saudara tidak wajib diberi nafkah.
Firman Alloh swt dalam Q.s Al-Isra : 23 :
Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.

Dan juga dalam Q.s Luqman : 15 :
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik,
Yang dimaksud dengan berbuat baik dalam ayat itu: menurut imam malik adalah segala yang menyenangkan hati ibu, bapak dan termasuk didalamnya nafkah.
2. Syarat-syarat wajib nafkah
Seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak mempunyai barang atau harta serta tidak mempunyai kesanggupan untuk berusaha atau mencoba berusaha tetapi belum juga berhasil, berhak menerima nafkah dari kerabatnya.
Kerabat yang sanggup memberi nafkah tersebut adalah kerabat yang sanggup dan mempunyai kelapangan serta mempunyai kelebihan setelah dia memenuhi nafkah anak dan orang tuanya. Kelebihan itulah yang dapat digunakannya untuk menefkahinya.
Kerabat yang berhak menerima nafkah adalah sesuai dengan pendapat para ulama Imam Syafi’I, Hanafi, Maliki, Ahmad Ibn Hambal tersebut diatas.

F. Pemeliharaan Anak (Hadanah)
1. Pengertian dan Hukumnya
Yang dimaksud dengan hadanah : kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau berdiri sendiri. Hadanah diartikan dengan lambung dan menurut bahasa juga berarti meletakan sesuatu didekat tulang rusuk atau dipangkuan. (pada waktu menyusui anaknya).
Al-Jaziri mendefinisikan hadanah menurut syar’: pemeliharaan anak kecil, orang lemah, orang gila atau sudah besar tapi belum mumayyiz, agar mampu memikul hidupnya dengan diri sendirinya
Sayyid sabiq mendefinisiskan Hadanah : pemeliharaan anak yang masih kecil, laki-laki atau perempuan atau yang sudah besar tapi belum tamyiz tanpa perintah dari padanya. Agar bertanggung jawab dikemudian hari.
Dalam buku Ilmu Fikih Departemen agama mendefinisikan hadanah : pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai ia sanggup diri sendiri mengurus dirinya. Hadanah beda dengan tarbiyyah. Dalam hadanah terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani.
Hadonah dilakukan oleh keluarga si anak, kecuali bila tidak punya keuarga.
Pemeliharaan anak hukumnya wajib. Mengabaikan anak-anak berarti menghadapkan anak-anak marabahaya kebinasaan.
Dalam Al-Qur`an Q.s At-Tahrim : 6
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
2. Yang berhak dan berkewajiban melakukan hadanah beserta urutannya.
Yang berhak dan berkewajiban melaksanakan hadanah adalah orang tuanya, apabila telah bercerai maka bunyalah yang berhak, sedangkan perbelanjaannya menjadi kewajiban ayahnya.
Sabda Rosululloh saw :
عَنْ عَبْدِالله بنِ عَمرٍ اَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَارَسُوْلَ الله اَنَّ ابْنِى هَذَا كاَنَ بَطْنِى لَهُ وِعَاٌء وَحِجْرِى لَهُ حَوَاءُ وَثَدِى لَهُ سَقَاءٌ فَزَعَمَ اَبُوْهُ اَنَّهُ اَحَقٌّ مِنِّى فَقَالَ اَنْتِ اَحَقٌّ مَالَمْ تَنْكَحِىْ رواه احمد وابو دود والبيهقى والحام
Dari Abdulloh ibnu umar bahwa sesungguhnya orang wanita dating dan bertanyakepada Rosuluoh : wahai Rosululloh sesungguhnya bagi anak laki-lakiini perutku yang menjadi bejananya dan lambungkulah yang menjadi pelindungnya dan tetekulah yang menjadi minumannya, tetapi ayahnya merasa berhak untuk mengambilnya dariku, maka Rosululloh bersabda : Engkaulah lebih berhak terhadap anak itu selama engkau belum nikah dengan orang lain. (HR Ahmad, Abu Daud, Baihaqi dan Hakim)
Dalam keterangan lainnya :
اَلاُمُّ اَعْطَفُ وَاَلْطَفُ وَاَرْحَمُ وَالْحَمُ وَأَخْيَرُ وَأَرْأَفُ وَهِىَ أَحَقُّ بِوَلِدِهَا مَالَمْ تَنْكَحِى
خالفة ابو بكر
Ibu lebih cenderung kepada anak, ebih halus, lebih pemurah, lebih penyantun, lebih baik dan lebih penyayang, oleh karena itu ibu lebih berhak atas anaknya itu selama belum kawin dengan laki-laki lain. (Kholifah Abu Bakar As-Shiddiq)
Dasar urutan dalam melakukan kewajiban hadanah :
a. kerabat dari ibunya didahulukan dari kerabat pihak ayahnya, jika tingkat kerabatnya sama.
b. Nenek perembpuan didahulukan atas saudara perembuan, karena anak perempuan bagian dari nenek itu.
c. Kerabat yang sekandung didahulukan dari yang bukan sekandung, dan kerabat ibu didahulukan dari kerabat ayah.
d. Dasar kerabat a, b, c adalah dasar kerabat yang memiliki hubungan mahram, dengan ketentuan sama pihak ibu lebih didahulukan daripada ayah.
e. Bila kerabat yang ada hubungan mahram tidak ada, maka kewajiban pindah kepada kerabat yang tidak punya hubungan mahram.
3. Biaya Hadanah
Dalam Al-Qur`an Q.s Al-Baqoroh : 233
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
Dan dalam Q.s At-Tholak : 6
dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Dengan ayat diatas menimpulkan bahwa biaya hadonah adalah kewajiban bagi ayah, kecuali kaau ada kerelaan dari berbagai fiak dan ada yang mau memberikan nafkah selain ayahnya.
4. Masa Hadanah
Dala ayat-ayat AlQur`an maupun hadist Rosul tidak menerangkan dengan tegas tentang berakhirnya masa hadanah. Yang ada hanya petunjuk saja.
Daru kitab Al-Fiqh ‘Alaa Madzahibul’arba’ah dapat kita ikuti pendapat paramadzhab, :
a. Golongan Hanafiyah mengatakan bahwa masa hadanah adalah sampai dengan 7 tahun, sebagian yang lain mengatakan sampai dengan umur 9 tahun.
b. Golongan Malikiyah sejak lahir sampai baligh.
c. Golongan Syafi’iyah tidak ada batas untuk masa tertentu hadanah, hanya saja anak tersebut sampai mumayyiz atau sampai bisa menentukan pilihan apakah ikut ayahnya atau ibunya.
d. Golongan Hanabilah masa hadanah 7 tahun baik untuk laki-laku atau perempuan.
5. Syarat-syarat Hadanah
1. Mukalaf
Maksudnya : orang Islam, baligh, berakal. Dan anak kecil muslim tidak boleh dipelihara oleh yang bukan muslim.
2. Mampu mendidik
3. Amanah dan Berbudi luhur
4. bu/Hadinah, belum kawin dengan laki-laki lain yang tidak punya hubungan mahram dengan anak asuh tersebut. Tetapi kalau ibu tersebut kawin dengan laki-laki yang mempunyai hubungan mahram dengan anak tersebut maka tidak boleh hadanah. Seperti ibu tersebut kawin dengan paman sianak. Alasannya berdasarkan hadist yang diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, Baihaki, Hakim. Diatas
5. dapat melaksanakan tugas hadanah dengan baik


BAB III
KESIMPULAN


Hak dan kewajiban dalam keluarga hal yang harus dilakukan oleh kedua pihak,karena itu adalah kewajiban yang sudah ditentukan bagi setiap yang menjalin rumah tangga, baik kewajiban isteri terhadap suami atau juga sebaliknya, dan saling menghormati dan menjaga keaiban serta menutupinya
Dalam masalah pembiayaan baik untuk nafkah anak dan urusan keluarga yang lainnya dalam keluarga lebih diberatkan kepada suami, karena suami sebagai kepala rumah tangga. Tetapi tetap seorang ibu juga harus bisa memberikan nafkah sesuai dengan yang ditentukan.
Hal yang masih dalam keluarga yakni dalam masalah hadanah atau pemeliharaan anak, bila suami dan isteri berserai maka hadanah ini lebih dicenderungkan kepada seorang ibu atau juga kepada kerabat dari pihak ibu.


REFERENSI

1. Drs. H. Djaman Nur. FIKIH MUNAKAHAT. Penerbit Dimas (Dina Utama Semarang).
2. Asyaikh Zainuddin Bin Abdul Aziz Al-Malebariy , Terjemah Fathul Mu’in Juz II Hal 173 Oleh Drs. H. Aliy As’ad Dibimbing Dr. H. Moch Tolhah Mansor SH..P Menara Kudus, Kudus1979
3. Asyaikh Imam Syamsyuddin Abu Abdillah Muhammad Bin Qosim Asy-Syafi’i , Terjemah Fathul Qorib Juz I Hal 43 oleh Drs. H. Imron Abu Amar, P Menara Kudus, Kudus 1982
4. Rasyid Sulaiman, Fiqh Islam, P Sinar Baru Bandung Cet ke 25 1992

Tidak ada komentar: