Kamis, 30 September 2010

PERENCANAAN PENGAJARAN



oleh Bubung Nizar Pamungkas

1. Berikan pendapat anda tentang perencanaan pengajaran?
Kita ketahui dulu tentang apa itu perencanaan dan pengajaran ,sebagai mana kita ketahui dalam berbagai buku-buku yang sering kita kenal.
Pengertian Perencanaan
Kata Perencanaan sering disamakan dengan persiapan. Perencanaan merupakan fungsi yang primer dalam administrasi pendidikan. Dalam kamus administrasi menurut The Liang Gi Perencanaan itu berariti suatu aktifitas yang menggambarkan di muka hal-hal yang harus dikerjakan dan cara mengerjakannya, dalam angka mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Pengertian Pengajaran
Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar supaya peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seseorang peserta didik. Pengajaran memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak., yaitu pekerjaan guru saja. Sedangkan pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan peserta didik. Pengajaran memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu perkajaan guru saja. Sedangkan pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan peserta didik.
Jadi, perencanaan pengajaran yaitu suatu antisipasi dan estimasi tentang apa yang akan dilakukan dalam pengajaran sehingga tercipta suatu situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar mengajar yang dapat membantu siswa untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah dirumuskan oleh guru.
Pengertian lain tentang perencanaan pengajaran dalam buku yang berjudul “:Pengantar Didaktik dan Metodik”. Perencanaan pengajaran adalah pemikiran tentang penerapan prinsip-prinsip umu mengajar dalam suatu situasi interaksi guru dan murid baik berlangsung di dalam maupun di luas kelas.
Perencanaan pengajaran berarti pemikiran tentang penerapan prinsip-prinsip umum mengajar di dalam pelaksanaan tugas mengajar dalam suatu interaksi pengajaran tertentu yang khusus baik yang berlangsung di dalam kelas ataupun di luar kelas.
Rencana pembelajaran pada hakekatnya merupakan perencanaan jangka pendek yang dilakukan oleh guru untuk dapat memperkirakan berbagai tindakan yang akan dilakukan di kelas atau diluar kelas. Perencanaan pembelajaran tersebut perlu dilakukan agar guru dapat mengkoordinasikan berbagai komponen pembelajaran yang berorientasi (berbasis) pada pembentukan kompetensi siswa, yakni kompetensi dasar, materi standar, indicator hasil belajar, dan penilaian berbasis kelas (PBK). Kompetensi dasar berfungsi untuk memberikan makna terhadap kompetensi dasar. Indikator hasil belajar berfungsi sebagai alat untuk mengukur ketercapaian kompetensi. Sedangakan PBK sebagai alat ukur mengukur pembentukan komptensi serta menentukan tindakan yang harus dilakukan jika komptensi standar belum tercapai.
2. Berikan pengertian tentang Pendidikan Agama Islam?
Pengertian Pendidikan.
1. Menurut Ahmad D. Marimba
“Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.
2. Menurut Ki Hajar Dewantara
“Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat”.
3. Menurut Soegarda Poerbakawaca
“Pendidikan adalah segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya serta keterampilannnya kepada generasi muda untuk melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama sebaik-baiknya”.
Jadi apabila ketiga rumusan pendidikan tersebut dipadukan dapat ditarik kesimpulan, bahwa pendidikan mempunyai pengertian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja, seksama, terencana dan bertujuan, yang dilaksanakan oleh orang dewasa dalam arti memiliki bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan menyampaikannya kepada anak didik secara bertahap. Apa yang diberikan kepada anak didik itu sedapat mungkin dapat menolong tugas dan perannya di masyarakat, dimana kelak mereka hidup.
Pengertian Agama
Menurut Ahmad Tafsir, agama adalah peraturan tentang cara hidup di dunia. Definisi ini dibagi menjadi dua kelompok, pertama defenisi agama yang menekankan segi rasa iman atau kepercayaan, yang kedua menekankan segi agama sebagai peraturan tentang cara hidup. Jadi agama ialah sistem kepercayaan dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan tersebut, juga agama ialah peraturan tentang cara hidup lahir batin.
Agama (pada umumnya) ialah:
- Satu sistema credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luas manusia;
- Satu sistema ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu;
- Satu sistema norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan.
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Beberapa pendapat lainnya :
Dalam bahasa Sansekerta Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "tradisi".Dalam bahasa Sansekerta artinya tidak bergerak (Arthut Mac Donnell).
Agama itu kata bahasa Sansekerta (yaitu bahasa agama Brahma pertama yang berkitab Veda) ialah peraturan menurut konsep Veda (Dr. Muhammad Ghalib).
Dalam bahasa Latin Agama itu hubungan antara manusia dengan manusia super (Servius)
Agama itu pengakuan dan pemuliaan kepada Tuhan (J. Kramers Jz)
Dalam bahasa Eropa Agama itu sesuatu yang tidak dapat dicapai hanya dengan tenaga akal dan pendidikan saja (Mc. Muller dan Herbert Spencer)
A.S. Hornby, E.V Gatenby dan Wakefield mengomentari bahwa Agama itu kepercayaan kepada adanya kekuasan mengatur yang bersifat luar biasa, yang pencipta dan pengendali dunia, serta yang telah memberikan kodrat ruhani kepada manusia yang berkelanjutan sampai sesudah manusia mati
Dalam bahasa Indonesia
Drs. Sidi Gazalba menyatakan bahwa Agama itu hubungan manusia Yang Maha Suci yang dinyatakan dalam bentuk suci pula dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.
Agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997)
Dalam bahasa Arab Agama dalam bahasa arab ialah din, yang artinya :
• Taat
• Takut dan setia
• Paksaan
• Tekanan
• Penghambaan
• Perendahan diri
• Pemerintahan
• Kekuasaan
• Siasat
• Balasan
• Adat
• Pengalaman hidup
• Perhitungan amal
• Hujan yang tidak tetap turunnya
Sinonim kata din dalam bahasa arab ialah milah. Bedanya, milah lebih memberikan titik berat pada ketetapan, aturan, hukum, tata tertib, atau doktrin dari din itu.
Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dll.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri , yaitu :
• menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan
• menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan
Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.

Pengertian Islam
Artinya: “ agama islam yaitu apa yang diturunkan oleh Allah dalam Qur’an dan dibarengi dengan sunnah yang shohih terdiri dari perintah-printah dan larangan-larangan dan pentunjuk-petunjuk untuk kebaikan hamba di dunianya dan di akhiratnya.
Jadi. Pendidikan agama Islam adalah bimbingan dan usaha yang diberikan pada seseorang dalam pertumbuhan jasmani dan rohani agar tertanam nilai-nilai ajaran agama Islam untuk menuju pada tingkat membentuk kepribadian yang utama, yaitu kepribadian muslim yang mencapai kehidupan dunia dan akhirat.
Menurut UU No. 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional pasa 39 ayat 2 pendidikan islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama islam melalui kegiatan bimbingan pengajaran dan atau latihan, dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.

2. Bagaimana pendapat Departemen Agama tentang pelajaran agama di sekolah umum?
Siswa di sekolah, terutama sekolah umum dinilai masin minim menerima pelajaran agama, padahal pelajaran itu sangat berguna untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan bagi siswa.
“pemerintah harus membuat suatu kebijakan nasional yang lebih mendorong pendidikan agama di sekolah lebih ditingkatkan, jika tidak ingin generasi muda penerus bangsa ini tidak lagi mengenal apa itu agama, “katanya.
Dua jam pelajaran di kelas memang tidaklah akan cukup untuk menyampaikan informasi keagamaan yang begitu komplek. Kalaulah kita tidak pandai mensiasatinya maka informasi yang diterima pelajar khawatir hanya akan menyentuh aspek kogniotif saja sementara aspek afektif dan psikomotor tidak dapat tersentuh. Dalam masalah ahlaq mungkin saja ketika dilakukan evaluasi tertulis (ulangan) para pelajar dapat menjawab dengan tepat bahkan bisa menyebutkan dalil naqlilnya bahwa etika makan dan minum dalam Islam diantaranya tidak boleh sambil berdiri, tapi dalam kehidupan sehari-hari pelajar tersebut masih saja makan dan minum sambil berdiri. Dalam masalah ibadah para pelajar mungkin saja ketika dilakukan evaluasi tertulis (ulangan) dapat menjawab dengan tepat bahwa salat lima wakti itu hukumnya wajib bila ditinggalkan berdosa dan bila dilaksanakan akan mendapat pahala, tapi dalam kehidupan sehari-hari pelajar tersebut masih enggan melakukan salat. Hal ini tentu tidak kita harapkan karena apa yang dilakukan para pelajar tidak sesuai dengan apa yang telah diketahuinya, diakuai atau tidak kenyataan itu membuktikan bahwa pendidikan Agama Islam masih belum berhasil.

3. Bagaimana pendapat Gerla dan Elly tentang spesifikasi tentang tujuan pembelajaran?
Tujuan pengajaran mengarahkan siswa ke mana harus pergi atau apa yang harus dipelajari. Tujuan pengajaran menjadi pedoman bagi pengajar untuk mentargetkan siswa sehingga siswa dapat memiliki kemampuan yang ditentukan sebelumnya. Kompetensi yang harus dimiliki siswa atau dikuasi oleh siswa mungkin berupa tujuan yang termasuk kawasan kognitif, afektif atau psikomotor.
Misal:
1. Agar siswa dapat menyebutkan, menerangkan atau membedakan suatu defenisi. Contoh: siswa dapat menyebutkan pengertian puasa.
2. Agar siswa berminat atau bersikap terhadap sesuatu yang akan menjadi kegemarannya. Contoh: siswa dapat menjaga sikap jika orang lain sedang berpuasa.
3. Agar siswa terampil berbuat. Contoh: siswa dapat melaksanakan puasa.

4. Bagaimana pendapat anda tentang Strategi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum?
Pandangan saya sendiri tentang pelajaran agama disekolah umum itu semestinya harus ada, karena bagi saya bukan berarti sekolah umum itu sendiri tidak ada pelajaran agama, justru dengan kata umum itu sendiri bahwa pelajaran disekolah itu harus meliputi bebagai pelajaran termasuk pelajaran agama.
Saat ini ternyata disekolah umum itu sendiri bahwa pelajaran agama itu selalu saja dikaitkan pada sekolah aliah padahal jelas tidak sekolah umum pun mesti dan harus ada mata pelajaran agama, karena pelajaran agamalah yang akan bisa menjaga moralitas anak bangsa demi masa depannya, kalau ternyata pelajaran agama dikesampingkan atai diminimalisir itu sangat ironis sekali melihat dengan kenyataan saat ini. Sesui dengan perintah Alloh begitu diturunkannya Al-Qur’an maka yang pertama kali itu adalah Bacalah! Bacalah! Bacalah.. arti bacalah disini adalah membaca sesuatu yang berkaitan dengan keagamaan yang bisa mendekatkan dirinya kepada Penciptanya.
Kelemahan bangsa kita ini yakni meminimalisir pelajaran agama pada Sekolah umum sebagai sekolah yang banyak di dominasi oleh masyarakat terutama ummat islam.

5. Kemukakan paling tidak tiga ayat atau hadist yang berhubungan dengan Pendidikan Agama Islam?
QS. Al-Alaq 1–5
                        
Artinya :
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan (1) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2) Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha pemurah, (3) yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam (4) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui (5)”.

QS. Ali-Imran 190-191
       •                         •
Artinya :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang benar-benar yang berakal (190) Yaitu orang-orang yang mengingat Allah SWT, ketika berdiri, duduk dan berbaring, mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi : Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka lindungilah kami dari azab neraka”.

QS. At-Taubah : 122
                        
Artinya :
“Tidak sepatutnya orang-orang yang beriman itu berangkat semuanya, Mengapa tidak pula berangkat satu rombongan dari tiap-tiap golongan itu untuk mempelajari perkara agama supaya mereka dapet memberikan

Kamis, 17 Juni 2010

SOLIDARITAS KEBERSAMAAN


Bubung Nizar PAMUNGKAS


Apa yang dimaksud dengan solidaritasKEBERSAMAAN?
solidaritasKEBERSAMAAN merupakan satu gerakan kampanye yang diprakarsai oleh Yayasan Tunas Cendekia. Gerakan ini merupakan satu bentuk kepedulian terhadap nasib pendidikan anak-anak Indonesia. Hasil solidaritasKEBERSAMAAN diwujudkan dalam bentuk bantuan pendidikan seperti buku, seragam, alat tulis dan sejenisnya. Semua untuk peningkatan pendidikan anak Indonesia.

Gerakan ini terbentuk karena kami sadar, anak-anak Indonesia, dimanapun mereka berada, merupakan masa depan bangsa. Anak-anak ini secara tidak langsung merupakan anak kita juga. Teman-teman bagi anak-cucu kita kelak. Jika kita menginginkan masa depan yang lebih baik bagi anak-cucu, pastikan kita bantu anak-anak ini menjadi pendamping yang terbaik bagi mereka.

Bagaimana solidaritasKEBERSAMAAN bekerja?
Dalam setiap individu yang membantu solidaritasKEBERSAMAAN, terdapat satu bentuk kepedulian dan kebaikan yang pernah mereka rasakan sebelumnya. Bantuan yang mereka terima mungkin berbentuk bantuan dari beasiswa, keluarga, perusahaan maupun individu lainnya. Mereka pernah merasakan bagaimana sulitnya mendapatkan pendidikan yang layak. Dan mereka pernah merasakan bagaimana rasanya mendapat bantuan yang sederhana maupun berguna.

Kepedulian dan kebaikan yang pernah mereka terima inilah yang kemudian mereka transfer kembali melalui solidaritasKEBERSAMAAN. Bersama solidaritasKEBERSAMAAN mereka membantu dengan kemampuan yang dimiliki dalam bentuk materi maupun tenaga. solidaritasKEBERSAMAAN memberikan bantuan yang sekiranya dibutuhkan oleh anak-anak dalam menjalankan pendidikannya.

Sumbangan dan dukungan setiap individu inilah sumber utama bantuan yang kami wujudkan kepada setiap anak.

Bantuan yang sebenarnya amat sangat sederhana. Namun dalam kenyataan masih banyak dari anak-anak ini yang belum bisa memperolehnya. Hal-hal seperti seragam lengkap, buku pelajaran, buku tulis, buku bacaan, alat tulis, alat gambar, terdengar seperti kebutuhan biasa bagi kita. Tapi percayalah…tidak bagi mereka.

Apa yang bisa anda lakukan?
Berbagai program sederhana yang kita lakukan, semua dapat terealisasi berkat kebaikan dan kepedulian dari individu seperti anda, yang percaya akan kekuatan solidaritasKEBERSAMAAN. Apa yang kita lakukan bukanlah sesuatu yang sulit. Dukungan dan bantuan sekecil Rp. 10.000 setiap bulannya, kami pastikan amat sangat bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan.

solidaritasKEBERSAMAAN terbuka bagi siapa saja, tanpa melihat latar belakang ekonomi, status, sosial maupun agama. Jika anda memang mempunyai kepedulian sama dengan kami. Mari bersinergi, bersama membantu anak-anak Indonesia.

Jika hidup anda pernah tersentuh oleh sebuah kepedulian atau kebaikan, dan ingin mencari cara untuk bisa membalas kebaikan tadi. Kami berharap anda mau bergabung dan membantu solidaritasKEBERSAMAAN. Ingat. Setiap orang mempunyai kemampuan untuk merubah hidup anak-anak ini. Merubah hidup bangsa ini menjadi lebih baik lagi

***
Sebagai bentuk kepedulian terhadap pendidikan anak-anak Indonesia, mulai bulan Maret 2005 Yayasan Tunas Cendekia (YTC) menggelar/mengadakan kampanye solidaritasKEBERSAMAAN. Tujuan utama dari kampanye ini adalah untuk meningkatkan kepedulian orang banyak terhadap peningkatan kualitas pendidikan anak-anak Indonesia. Semakin banyak yang peduli akan semakin banyak anak-anak yang terbantu.

Program pertama yang diluncurkan YTC adalah pengumpulan dana melalui hasil penjualan Gelang Peduli Anak Indonesia berwarna merah dan bertuliskan semangat ‘solidaritasKEBERSAMAAN’

Penjualan gelang seharga Rp.10.000* ini akan disalurkan langsung melalui program-program yang mendukung peningkatan pendidikan anak-anak Indonesia. Kampanye melalui penjualan gelang peduli ini dimulai dengan kesuksesan kampanye Wear Yellow yang dilakukan oleh Lance Armstrong Foundation. Gelang Peduli (Support Wristband) ini telah menjadi ‘produk’ populer yang sedang digunakan oleh banyak yayasan atau organisasi individu untuk mengumpulkan dana sosial, serta para individu untuk menunjukan kepedulian mereka.

‘Kak’ Seto Mulyadi (Ketua Komnas Perlindungan Anak) dan dikDOANK (Presenter Olahraga, Musisi) menjadi duta kampanye pertama yang tampil dalam iklan media cetak untuk mendukung kampanye Gelang Peduli Anak Indonesia.

Tebarkan pesan, tunjukan kepedulian dan dukungan kita semua, dengan memilki serta memakai Gelang solidaritasKEBERSAMAAN. Bantu YTC menghimpun dana sekaligus menyebarkan semangat kepedulian terhadap anak Indonesia dengan memakai Gelang solidaritasKEBERSAMAAN.

Gelang ini akan menjadi lambang gerakan global terhadap kepedulian anak Indonesia.

Gelang solidaritasKEBERSAMAAN dijual dengan dua ukuran ‘adult’ dan ‘youth. Dapat diperoleh seharga @ Rp.10.000,- melalui situs ini atau 0813 1939 2773.

Hasil penjualan akan disalurkan kepada program-program peningkatan pendidikan dan perlindungan anak Indonesia yang dilakukan oleh YTC beserta para mitranya.

Program kedua adalah solidaritasKEBERSAMAAN photographyCONTEST. Lomba foto yang bertujuan untuk menunjukan semangat solidaritasKEBERSAMAAN dalam karya foto. Diharapkan karya foto tersebut bisa menggugah orang banyak untuk berbuat untuk anak-anak Indonesia. Bagi komunitas fotografer sendiri diharapkan akan menjadi salah satu media alternatif bagi mereka untuk bisa berkontribusi terhadap perbaikan kualitas pendidikan anak-anak Indonesia.

Pemenang utama dikirim ke salah satu daerah program YTC. Para finalis akan mendapat hadiah jutaan rupiah yang diwujudkan dalam bentuk bantuan pendidikan yang bisa bebas mereka salurkan ke yayasan, organisasi atau individu yang dipilihnya.

KEBERSAMAAN ADALAH NILAI KOLEKTIFITAS YANG MULIA


OLEH BUBUNG NIZAR


Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia membutuhkan kebersamaan dalam kehidupannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia beraneka ragam dan berbeda-beda tingkat sosialnya. Ada yang kuat, ada yang lemah, ada yang kaya, ada yang miskin, dan seterusnya. Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan manusia dengan keahlian dan kepandaian yang berbeda-beda pula. Semua itu adalah dalam rangka saling memberi dan saling mengambil manfaat. Orang kaya tidak dapat hidup tanpa orang miskin yang menjadi pembantunya, pegawainya, sopirnya, dan seterusnya. Demikian pula orang miskin tidak dapat hidup tanpa orang kaya yang mempekerjakan dan mengupahnya. Demikianlah seterusnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيْشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az-Zukhruf: 32)
Kehidupan bermasyarakat sendiri tidak akan terwujud dengan sempurna kecuali dengan adanya seorang pemimpin dan kebersamaan. Oleh karena itulah, Islam begitu menekankan agar kaum muslimin bersatu dalam jamaah di bawah satu penguasa. Seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti sebuah bangunan, sebagian menopang sebagian yang lain.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan kami. Di antaranya beliau berkata:
...عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ، وَهُوَ مِنَ اْلاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ، مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ، مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَاتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَاتُهُ فَذَلِكَ الْمُؤْمِنُ
“…Wajib atas kalian untuk bersama dengan al-jamaah dan berhati-hatilah kalian dari perpecahan. Sesungguhnya setan bersama orang yang sendirian, sedangkan dari orang yang berdua dia lebih jauh. Barangsiapa yang menginginkan tengah-tengahnya (yang terbaiknya) surga maka hendaklah dia bersama jamaah. Barangsiapa yang kebaikan-kebaikannya menggembirakan dia dan kejelekan-kejelekannya menyusahkan dia, maka dia adalah seorang mukmin.” (Shahih, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya 4/465, cet. Musthafa Al-Babi, Mesir, cet. II. At-Tirmidzi berkata: “Ini adalah hadits hasan shahih.”; juga Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam Al-Musnad 1/18 cet. Al-Maktabul Islami Beirut. Dishahihkan oleh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam Syarhul Musnad 1/112 cet. Darul Ma’arif, Mesir. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi ‘Ashim rahimahullahu dalam As-Sunnah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Zhilalul Jannah cet. Al-Maktab Al-Islami Beirut cet. III, hal 42-43 dari jalan Muhammad bin Suqah, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar.)
Sungguh indah kebersamaan dalam jamaah dan sungguh nikmat hidup dalam keteraturan di bawah satu penguasa. Sebagaimana dikatakan: Al-Jama’atu rahmah wal furqatu ‘adzab (kebersamaan adalah rahmat, sedangkan perpecahan adalah adzab). Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang perpecahan dalam beberapa ayatnya. Di antaranya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
... وَلاَ تَكُوْنُوا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوا دِيْنَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
“…Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 31-32)
Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Di antara tafsir “tali Allah” selain Islam, Al-Qur`an dan As-Sunnah, adalah jamaah kaum muslimin dan penguasanya. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata: “Wahai manusia, wajib atas kalian untuk taat dan tetap bersama jamaah, karena itulah tali Allah yang sangat kuat. Ketahuilah! Apa yang tidak kalian sukai bersama jamaah lebih baik daripada apa yang kalian sukai bersama perpecahan.” (Asy-Syari’ah karya Al-Ajurri rahimahullahu, hal. 23-24, cet. Darus Salam, Riyadh cet. I)
Tidak ada pertentangan antara tafsir tersebut dengan tafsir yang lainnya. Karena ayat tersebut memerintahkan kaum muslimin agar berpegang dengan ajaran Islam, dengan dasar Al-Qur`an dan As-Sunnah serta tetap bersama jamaah kaum muslimin dan penguasanya, agar tidak berpecah belah. Jika keluar dari salah satunya maka akan terjatuh dalam perpecahan. Sehingga, semuanya sama-sama merupakan tali Allah yang sangat kuat, yang mengikat mereka dalam kebersamaan.
Nikmatnya kebersamaan dalam satu jamaah dengan satu kepemimpinan telah dirasakan sejak zaman para shahabat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpinnya. Maka ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, para sahabat segera membicarakan siapa khalifah yang akan menjadi pemimpin sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan karena mereka adalah para politikus yang berambisi menjadi penguasa –seperti yang dikatakan oleh kaum Syi’ah– tetapi karena mereka faham betul betapa pentingnya keberadaan seorang pemimpin dalam kebersamaan.
Tentunya kepemimpinan tanpa ketaatan adalah sesuatu yang sia-sia. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menaati seorang yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan sebagai penguasa.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan pemerintah/penguasa di kalangan kalian.” (An-Nisa`: 59)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan untuk menaati penguasa. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
”Wajib atas setiap orang muslim untuk mendengar dan taat kepada penguasanya dalam apa yang dia sukai dan yang tidak dia sukai, kecuali jika dia diperintah untuk bermaksiat. Jika dia diperintah untuk bermaksiat maka tidak wajib baginya untuk mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya 13/121, cet. Maktabatur Riyadh Al-Haditsah, Riyadh; Muslim dalam Shahih-nya 3/1469, cet. Dar Ihya`it Turats Al-‘Arabi, Beirut, cet. I)
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata:
مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah kemudian dia mati, maka matinya mati jahiliah.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya 3/1476, 1477, cet. Dar Ihya`it Turats Al-‘Arabi, Beirut cet. I, dari jalan Ghailan bin Jarir, dari Abu Qais bin Rabah, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Dalam hadits ini, orang yang tidak taat dan memisahkan diri dari jamaah dikatakan jahiliah. Demikian pula dalam ayat di atas, orang yang berpecah belah dikatakan seperti musyrikin. Hal ini karena orang tersebut seperti keadaan musyrikin di zaman jahiliah, yaitu masyarakat liar yang hidup tanpa keteraturan dan kepemimpinan1.
Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menaati penguasa di atas adalah dalam rangka menjaga kebersamaan dalam jamaah dan tidak bercerai berai. Oleh karena itu, perintah tersebut tidak gugur dengan kezhaliman penguasa tersebut atau kekurangan-kekurangan dalam hal fisiknya. Karena hikmah dalam kebersamaan lebih besar daripada kezhaliman penguasa tersebut. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan untuk menaatinya walaupun penguasa itu bekas budak hitam yang cacat.
Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata:
إِنَّ خَلِيْلِيْ أَوْصَانِي أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيْعَ، وَإِنْ كَانَ عَبْدًا مُجَدَّعَ اْلأَطْرَافِ
“Kekasihku (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah mewasiatkan kepadaku agar aku mendengar dan taat, walaupun yang berkuasa adalah bekas budak yang terpotong hidungnya (cacat).” (HR. Muslim dalam Shahih-nya 3/467, cet. Dar Ihya`it Turats Al-‘Arabi, Beirut; dan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad hal. 54, cet. ‘Alamul Kutub, Beirut, cet. II)
Kalimat mujadda’ bermakna terpotong anggota badannya atau cacat, seperti terpotong telinga, hidung, atau tangan dan kakinya. Namun seringkali kalimat mujadda’ dipakai dengan maksud terpotong hidungnya. Sedangkan mujadda’ul athraf, Ibnu Atsir rahimahullahu berkata dalam An-Nihayah: “Maknanya adalah terpotong-potong anggota badannya, di-tasydid-kan huruf dal-nya untuk menunjukkan banyak.”
Demikian pula riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu yang memerintahkan kita untuk taat pada penguasa, walaupun seorang bekas budak hitam yang kepalanya seperti kismis. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيْبَةٌ
“Dengar dan taatilah walaupun yang dipilih sebagai penguasa kalian adalah budak dari Habasyah yang kepalanya seperti kismis (anggur kering).” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya 13/121 cet. Maktabatur Riyadh Al-Haditsiyyah, Riyadh; Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/955 cet. Fuad Abdul Baqi; Ahmad dalam Al-Musnad, 3/114, cet. Al-Maktabul Islami, Beirut)
Bahkan perintah ini tidak gugur walaupun penguasa tersebut zhalim, merampas harta rakyat dan menindas, selama dia masih muslim. Dikisahkan oleh ‘Adi bin Hatim radhiyallahu 'anhu:
قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ التَّقِيِّ وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ (وَذَكَرَ الشَّرَّ)؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اتَّقُوْا اللهَ وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا
Kami katakan: “Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang yang bertakwa, tetapi penguasa yang berbuat begini dan begitu –dia menyebutkan kejelekan-kejelekan–?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bertakwalah kepada Allah, dan dengarlah dan taatlah kalian kepadanya!” (Hadits hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, 2/494 cet. Al-Maktabul Islami Beirut cet. II, dari jalan ‘Utsman bin Qais Al-Kindi, dari ayahnya, dari ‘Adi bin Hatim. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Zhilalul Jannah cet. Al-Maktab Al-Islami, Beirut cet. III, hal. 494)
Lebih dahsyat lagi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggambarkan akan munculnya seorang penguasa yang hatinya seperti hati setan dalam tubuh manusia. Disebutkan dalam hadits Hudzaifah radhiyallahu 'anhu sebagai berikut:
قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيْهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ.قُلْتُ: هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ؟ قال: نعم. قُلْتُ: هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قُلْتُ: كَيْفَ؟ قَالَ: يَكُوْنُوْا بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ، سَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ!
Aku mengatakan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu dalam keadaan jelek kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini, dan kami berada di dalamnya. Maka apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Beliau berkata: “Ya.” Aku berkata: “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan?” Beliau berkata: “Ya.” Aku berkata: “Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Beliau berkata: “Ya.” Aku berkata: “Bagaimana itu?” Beliau berkata: “Akan ada setelahku penguasa-penguasa yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak bersunnah dengan sunnahku. Akan muncul di tengah mereka para lelaki yang hati-hati mereka adalah hati-hati setan dalam tubuh-tubuh manusia.” Aku berkata: “Apa yang mesti saya perbuat jika mengalami keadaan itu?” Beliau berkata: “Dengar dan taatlah pada penguasa walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas! Dengarlah dan taatilah.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya 13/111, cet. Maktabatur Riyadh Al-Haditsiyyah, Riyadh; Muslim dalam Shahih-nya 3/1476 cet. Dar Ihya`it Turats Al-‘Arabi, Beirut cet. I; Ibnu Majah dalam Sunan-nya, 2/1317 cet. Fuad Abdul Baqi, dari jalan Busr bin Ubaidillah Al-Hadhrami, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Hudzaifah radhiyallahu 'anhu)
Perhatikanlah! Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas bukan membela para penguasa yang jahat dan zhalim. Tetapi menunjukkan betapa pentingnya kebersamaan di bawah kepemimpinan seorang penguasa. Bisa dibayangkan, betapa jeleknya seorang yang meruntuhkan atau merusak kebersamaan ini dengan sikap menentang penguasa muslim, memberontak dan memeranginya.
Memang kebanyakan orang yang merusak kebersamaan ini berniat baik, yaitu mengingkari kemungkaran. Tetapi kenyataannya, mereka mengganti kemungkaran dengan kemungkaran yang lebih besar. Mereka mengganti kezhaliman penguasa dengan perang saudara sesama muslim. Atau mengganti keteraturan dan kepemimpinan dengan kekacauan dan pertumpahan darah. Apakah ini sebuah hikmah? Ataukah ini suatu kebodohan yang nyata?!
Diriwayatkan oleh Al-Ajurri rahimahullahu dalam kitabnya Asy-Syari’ah dengan sanadnya, bahwa ketika disampaikan kepada Al-Hasan radhiyallahu 'anhu tentang Khawarij (para pemberontak) yang telah muncul di Khuraibiyyah (daerah Bashrah), beliau berkata: “Kasihan mereka. Mereka melihat kemungkaran kemudian mengingkarinya, ternyata mereka terjerumus dalam kemungkaran yang lebih besar.” (Asy-Syari’ah, hal. 38, cet. Darus Salam, Riyadh, cet. I)
Wallahu a’lam.

Jumat, 09 April 2010

ILMU, FILSAFAT, AGAMA


oleh :
BUBUNG NIZAR PAMUNGKAS


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kesungguhan dalam menemukan sesuatu kebenaran melahirkan keyakinan tersendiri. Tetapi disini harus saling melengkapi artinya untuk menemukan sesuatu yang benar-benar sesungguhnya dilihat dari berbagai sisi maksudnya dari mulai akal, serta wahyu.
Hal ini terutama ilmuselalu exis bahkan merupakan salh satu alat untuk pencarian pengetahuan atau sesuatu. Begitu juga filsapat yang has dalam pencarian hakikat sesuatu. Hanya juga agama dijadikan modal sekaligus pondamentalis dalam mendapatkan kebenaran.

1.2. Rumusan Masalah
1. Definisi Ilmu
2. Definisi Filsapat
3. Definisi Agama
4. Hubungan Ilmu, Filsapat dan Agama
1.3. Tujuan
Agar bisa menemukan sesuatu yang sebenarnya dilihat dari berbagai bentuk ilmu, filsapa dan agama.


BAB II
PEMBAHASAN


1. DEFINISI ILMU
Definisi ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum sebab-akibat dalam suatu golongan masalah yang sama sifatnya, baik menurut kedudukannya (apabila dilihat dari luar), maupun menurut hubungannya (jika dilihat dari dalam). Mohammad Hatta-- Definisi ilmu dapat dimaknai sebagai akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan. Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris.Ilmu dapat diamati panca indera manusia.Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada para ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk: "jika,...maka..."
Definisi ilmu bergantung pada cara kerja indera-indera masing-masing individu dalam menyerap pengetahuan dan juga cara berpikir setiap individu dalam memroses pengetahuan yang diperolehnya. Selain itu juga, definisi ilmu bisa berlandaskan aktivitas yang dilakukan ilmu itu sendiri. Kita dapat melihat hal itu melalui metode yang digunakannya.

Sifat-sifat ilmu
Dari definisi yang diungkapkan Mohammad Hatta dan Harjono di atas, kita dapat melihat bahwa sifat-sifat ilmu merupakan kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu yang...
Berdiri secara satu kesatuan,
Tersusun secara sistematis,
Ada dasar pembenarannya (ada penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan disertai sebab-sebabnya yang meliputi fakta dan data),
Mendapat legalitas bahwa ilmu tersebut hasil pengkajian atau riset.
Communicable, ilmu dapat ditransfer kepada orang lain sehingga dapat dimengerti dan dipahami maknanya.
Universal, ilmu tidak terbatas ruang dan waktu sehingga dapat berlaku di mana saja dan kapan saja di seluruh alam semesta ini.
Berkembang, ilmu sebaiknya mampu mendorong pengetahuan-pengatahuan dan penemuan-penemuan baru. Sehingga, manusia mampu menciptakan pemikiran-pemikiran yang lebih berkembang dari sebelumnya.
Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa tidak semua pengetahuan dikategorikan ilmu. Sebab, definisi pengetahuan itu sendiri sebagai berikut: Segala sesuatu yang datang sebagai hasil dari aktivitas panca indera untuk mengetahui, yaitu terungkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya, sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh, luas, dan dalam dari pengetahuan.

Mengapa ilmu hadir?
Pada hakekatnya, manusia memiliki keingintahuan pada setiap hal yang ada maupun yang sedang terjadi di sekitarnya. Sebab, banyak sekali sisi-sisi kehidupan yang menjadi pertanyaan dalam dirinya. Oleh sebab itulah, timbul pengetahuan (yang suatu saat) setelah melalui beberapa proses beranjak menjadi ilmu.

Bagaimanakah manusia mendapatkan ilmu?
Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sempurna, yaitu dilengkapi dengan seperangkat akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah, manusia mendapatkan ilmu, seperti ilmu pengetahuan sosial, ilmu pertanian, ilmu pendidikan, ilmu kesehatan, dan lain-lain. Akal dan pikiran memroses setiap pengetahuan yang diserap oleh indera-indera yang dimiliki manusia.

Dengan apa manusia memperoleh, memelihara, dan meningkatkan ilmu?
Pengetahuan kaidah berpikir atau logika merupakan sarana untuk memperoleh, memelihara, dan meningkatkan ilmu. Jadi, ilmu tidak hanya diam di satu tempat atau di satu keadaan. Ilmu pun dapat berkembang sesuai dengan perkembangan cara berpikir manusia.

2. DEFINISI FILSAPAT
Menurut Ahmad Sadali dan Mudzakir Filsapat adalah pengetahhuan tentang sesuatu yang non-empirik dan non-eksperimental diperoleh manusia dengan usaha melalui pikiran yang mendalam.
Poedja wijatma (1974:11) mendefinisikan dilsapat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka.
Hasbullah Bakri (1971:11) mendefinisikan bahwa filsapat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli. Aristoteles mendefinisikan fislapat sebagai pengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung didalam metadisika, logika, retorika, ekonomi, politik serta estetika. Bagi Alfarabi Filsapat ialah pengetahuan tentang alam wujud bagaimana hakikat yang sebenarnya. Imanuel kant mendefinisikan Filsapat sebagai pengetahuan yang menjadi pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup meliputi :
- Apa yang dapat diketahui? (jawabannya metafisika)
- Apa yang seharusnya diketahui? (jawabannya etika)
- Sampai dimana harapan kita ? (jawabannya Agama)
- Apa itu manusia ? (jawabannya antropologi)

3. DEFINISI AGAMA
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.


Beberapa pendapat
Dalam bahasa Sansekerta Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "tradisi".Dalam bahasa Sansekerta artinya tidak bergerak (Arthut Mac Donnell).
Agama itu kata bahasa Sansekerta (yaitu bahasa agama Brahma pertama yang berkitab Veda) ialah peraturan menurut konsep Veda (Dr. Muhammad Ghalib).
Dalam bahasa Latin Agama itu hubungan antara manusia dengan manusia super (Servius)
Agama itu pengakuan dan pemuliaan kepada Tuhan (J. Kramers Jz)
Dalam bahasa Eropa Agama itu sesuatu yang tidak dapat dicapai hanya dengan tenaga akal dan pendidikan saja (Mc. Muller dan Herbert Spencer)
A.S. Hornby, E.V Gatenby dan Wakefield mengomentari bahwa Agama itu kepercayaan kepada adanya kekuasan mengatur yang bersifat luar biasa, yang pencipta dan pengendali dunia, serta yang telah memberikan kodrat ruhani kepada manusia yang berkelanjutan sampai sesudah manusia mati
Dalam bahasa Indonesia
Drs. Sidi Gazalba menyatakan bahwa Agama itu hubungan manusia Yang Maha Suci yang dinyatakan dalam bentuk suci pula dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.
Agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997)
Dalam bahasa Arab Agama dalam bahasa arab ialah din, yang artinya :
• taat
• takut dan setia
• paksaan
• tekanan
• penghambaan
• perendahan diri
• pemerintahan
• kekuasaan
• siasat
• balasan
• adat
• pengalaman hidup
• perhitungan amal
• hujan yang tidak tetap turunnya
Sinonim kata din dalam bahasa arab ialah milah. Bedanya, milah lebih memberikan titik berat pada ketetapan, aturan, hukum, tata tertib, atau doktrin dari din itu.
Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dll.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri , yaitu :
• menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan
• menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan
Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.


Cara Beragama
Berdasarkan cara beragamanya :
1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya.
2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.


4. HUBUNGAN ANTARA ILMU, FILSAFAT, AGAMA
Ilmu, filsapat serta agama mempunyai hubungan yang kuat terkait pada manusia, karena ke tiga tersebut adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan pada manusia, yakni ketiga tersebut ada potensinya pada manusia yaitu, akal, rasa dan keyakinan. Sehingga dengan ketiga tersebut manusia dapat merasakan dan meraih sesuatu ykepuasan dari hidupnya yakni kebahagiaan dan tujuannya.
Ilmu mendasar pada akal, filsapat mendasar pada otoritas akal murni secara radikal pada kenyataan dan agama mendasar pada wahyu.
Prof. Nasroen, S.H., menerangkan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasar pada agama karena filsapat terkandung dalam agama. Bila filsafat tidak terkandung pada agama maka filsapat itu akan memuat kebenaran objektif karena segala sesuatunya dengan pikiran akal. Sedangkan kemampuan akal itu terbatas, dan tidak mungkin untuk menerima pada hal-hal yang gaib.
Sebagaian ada yang menyatakan bahwa hubungan Ilmu, Filsapat dan Agama adalah:
a. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Ilmu Sejarah telah dapat membuktikan tentang pengungkapan ilmiah manusia yang sangat menonjol di dunia adalah di zaman Yunani Kuno (abad IV dan V S.M). Bangsa Yunani ditakdirkan Allah sebagai manusia yang mempunyai akal jernih. Bagi mereka ilmu itu adalah suatu keterangan rasional tentang sebab-musabab dari segala sesuatu didunia ini. Dunia adalah kosmos yang teratur dengan aturan kausalitas yang bersifat rasional. Demikianlah tiga dasar yang menguasai ilmu orang Yunani pada waktu itu, yaitu: Kosmos, Kausalitas dan Rasional.
Pada hakikatnya kelahiran cara berfikir ilmiah itu merupakan suatu revolusi besar dalam dunia ilmu pengetahuan, karena sebelum itu manusia lebih banyak berpikir menurut gagasan-gagasan magi dan mitologi yang bersifat gaib dan tidak rasional.
Dengan berilmu dan berfilsafat manusia ingin mencari hakikat kebenaran daripada segala sesuatu Dalam berkelana mencari pengetahuan dan kebenaran itu menusia pada akhirnya tiba pada kebenaran yang absolut atau yang mutlak yaitu ‘Causa Prima’ daripada segala yang ada yaitu Allah Maha Pencipta, Maha Besar, dan mengetahui.
Oleh karena itu kita setuju apabila disebutkan bahwa manusia itu adalah mahluk pencari kebenaran. Di dalam mencari kebenaran itu manusia selalu bertanya.
Dalam kenyataannya makin banyak manusia makin banyaklah pertanyaan yang timbul. Manusia ingin mengetahui perihal sangkanparannya, asal mula dan tujuannya, perihal kebebasannya dan kemungkinan-kemungkinannya. Dengan sikap yang demikian itu manusia sudah menghasilkan pengetahuan yang luas sekali yang secara sistematis dan metodis telah dikelompokan kedalam berbagai disiplin keilmuwan. Namun demikian karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka sejumlah besar pertanyaan tetap relevan dan aktual seperti yang muncul pada ribuan tahun yang lalu, yang tidak terjawab oleh Ilmu pengetahuan seperti antara lain: tentang asal mula dan tujuan manusia, tentang hidup dan mati, tentang hakikat manusia sebagainya. Ketidakmampuan Ilmu pengetahuan dalam menjawab sejumlah pertanyaan itu, maka Filasafat tempat menampung dan mengelolahnya. Filsafat adalah ilmu yang tanpa batas, tidak hanya menyelidiki salah satu bagian dari kenyataan saja, tetapi segala apa yang menarik perhatian manusia.
b. Definisi Ilmu Pengetahuan dan Filsafat. Arthur Thompson dalam bukunya” An Introducation to Science” menuliskan bahwa ilmu adalah diskripsi total dan konsisten dari fakta-fakta empiri yang dirumuskan secara bertanggung jawab dalam istilah- istilah yang sederhana mungkin. Untuk menjelaskan perbedaan antara Ilmu Pengetahuan dan Filsafat, baiklah dikemukakan rumusan Filsafat dari filsuf ulung Indonesia Prof. DR. N. Driyarkara S.Y., yang mengatakan “Filsafat adalah pikiran manusia yang radikal, artinya yang dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapat- pendapat yang diterima saja, mencoba memperlihatkan pandangan yang merupakan akar dari lain-lain pandangan dan sikap praktis. Jika filsafat misalnya bicara tentang masyarakat, hukum, sisiologi, kesusilaan dan sebagainya, di satu pandangan tidak diarahkan ke sebab-sebab yang terdekat, melainkan ‘ke’mengapa’ yang terakhir sepanjang kemungkinan yang ada pada budi manusia berdasarkan kekuatannya itu. “Filsafat adalah ilmu Pengetahuan dan Teknologi, filsafat tidak memperlihatkan banyak kemajuan dalam bidang penyelidikan. Ilmu pengetahuan dan Teknologi bahkan melambung tinggi mencapai era nuklir dan sudah diambang kemajuan dalam mempengaruhui penciptaan dan reproduksi manusia itu sendiri dengan revolusi genitika yang bermuara pada bayi tabung I di Inggris serta diambang kelahiran kurang lebih 100 bayi tabung yang sudah hamil tua. Di satu pihak fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, berupa penciptaan sarana yang memudahkan pemenuhan kebutuhan manusia untuk hidup sesuai dengan kodratnya. Inilah dampak positifnya disatu pihak sedangkan dipihak lainnya bdampak negatifnya sangat menyedihkan. Bahwa ilmu yang bertujuan menguasai alam, sering melupakan faktor eksitensi manusia, sebagai bagian daripada alam, yang merupakan tujuan pengembangan ilmu itu sendiri kepada siapa manfaat dan kegunaannya dipersembahkan. Kemajuan ilmu teknologi bukan lagi meningkatkan martabat manusia itu, tetapi bahkn harus dibayar dengan kebahagiaannya. Berbagai polusi dan dekadensi dialami peradaban manusia disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Dalam usahanya pendidikan keilmuwan bukanlah semata-mata ditujukan untuk menghasilkan ilmuwan yang pandai dan trampil, tetapi juga bermoral tinggi.
c. Abstraksi
Untuk menerangkan selanjutnya hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan, baiklah dikemukakan pendapat Aristoteles tentang abstraksi. Menurut beliau pemekiran manusia melampaui 3 jenis abstraksi (kata Latin ‘abstrahere’ yang berarti menjauhkan diri)
Percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara mengelanakan atau mengembarakan akal budi secara redikal (mengakar), dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam),tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali ikatan tangannya sendiri yang disebut ’logika’ Manusia dalam mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan pelbagi masalah asasi dari suatu kepada kitab Suci, kondifikasi Firman Allah untuk manusia di permukaan planet bumi ini. Kebenaran ilmu pengetahuan ialah kebenaran positif, kebenaran filsafat ialah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiri, riset, eksperimen). Kebenaran ilmu pengetahuan dan filsafat keduanya nisbi (relatif). Dengan demikian terungkaplah bahwa manusia adalah mahluk pencari kebenaran. Di dalam mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran itu terdapat tiga buah jalan yang ditempuh manusia yang sekaligus merupakan institut kebenaran yaitu : Ilmu, filsafat dan Agama


BAB III
KESIMPULAN


Ilmu, filsapat serta agama mempunyai hubungan yang kuat terkait pada manusia, karena ke tiga tersebut adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan pada manusia, yakni ketiga tersebut ada potensinya pada manusia yaitu, akal, rasa dan keyakinan. Sehingga dengan ketiga tersebut manusia dapat merasakan dan meraih sesuatu ykepuasan dari hidupnya yakni kebahagiaan dan tujuannya.
Ilmu mendasar pada akal, filsapat mendasar pada otoritas akal murni secara radikal pada kenyataan dan agama mendasar pada wahyu.
Prof. Nasroen, S.H., menerangkan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasar pada agama karena filsapat terkandung dalam agama. Bila filsafat tidak terkandung pada agama maka filsapat itu akan memuat kebenaran objektif karena segala sesuatunya dengan pikiran akal. Sedangkan kemampuan akal itu terbatas, dan tidak mungkin untuk menerima pada hal-hal yang gaib.


DAFTAR PUSTAKA

• Akrabi Shofie, Pendidikan Agama Islam, Gunung Pesagi. Bandar Lampung 2006
• Syadali Ahmad Mudzakir, Filsafat Umum, Pustaka Setia, Bandung 1997
• Suriasumantri Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sianr Harapan, Jakarta 2005
• "http://id.wikipedia.org/wiki/Agama"
• MH, Amin Jaiz, Pokok-pokok Ajaran Islam, Korpri Unit PT. Asuransi Jasa Indonesia Jakarta, 1980
• http://www.anneahira.com/ilmu/index.htm
• http://yudhim.blogspot.com/2008/01/hubungan-ilmu-pengetahuan-filsafat-dan.html

Senin, 05 April 2010

KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR


OLEH BUBUNG NIZAR


PEMBAHASAN
KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR

I. AL-QUR`AN
I. 1. QS. Al-Alaq 1–5
                        
Al-Alaq (Segumpal Darah)
Artinya : “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan (1) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2) Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha pemurah, (3) yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam (4) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui (5)”.

Sesungguhnya Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan adalah ayat-ayat mulia ini. Dia merupakan rahmat pertama yang diberikan Allah kepada para hamba-Nya dan nikmat pertama yang dicurahkan Allah kepada mereka, Dia merupakan peringatan tentang awal penciptaan manusia dari segumpal darah, dan sesungguhnya diantara kemurahan Allah SWT, adalah mengajarkan kepada manusia sesuatu yang tadinya tidak diketahuinya,
Maka Allah SWT mengangkat dan memuliakannya dengan ilmu. Inilah jabatan yang hanya diberikan Allah SWT kepada Bapak manusia Adam as, sehingga membedakannya dari malaikat, dan ilmu terkadang ada dalam benak, kadang-kadang dengan lidah, kadang-kadang bisa pula berada dalam tulisan dan bersifat mentalistik dan formalistik, kata formalistik memastikan ilmu berada pada tulisan, namun tidak sebaliknya.


I.2. QS. Ali-Imran 190-191
       •        ɧ14;                 • 
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang benar-benar yang berakal (190) Yaitu orang-orang yang mengingat Allah SWT, ketika berdiri, duduk dan berbaring, mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi : Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka lindungilah kami dari azab neraka”.

Allah SWT berfirman “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi” yakni ikhwal ketinggian dan keluasan langit, ikhwal kerendahan dan ketebalan bumi, serta tanda-tanda kekuasaan yang besar yang terdapat pada keduanya, baik tanda-tanda yang bergerak maupun yang diam di lautan, hutan, pepohonan, barang tambang, serta berbagai jenis makanan, warna dan bau-bauan yang bermanfaat “serta pergantian malam dan siang” yang pergi dan datang serta susul menyusul dalam hal panjang, pendek dan sedang. Semua itu merupakan penetapan dari yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman “Benar-benar terdapat tanda kekuasaan bagi orang-orang yang berakal”.

Sempurna dan bersih yang dapat memahami hakikat berbagai perkara, bukan seperti orang-orang yang tuli dan bisu, yang tidak dapat memahami yaitu orang-orang yang dijelaskan Allah SWT, dengan “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan dibumi yang dilalui oleh mereka sedang mereka tidak beriman kepada Allah SWT, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah SWT (dengan sembah-sembahan lain)” (QS. Yusuf : 105-106).
Allah SWT mencela orang yang tidak mau mengambil pelajaran dari makhluk-makhluk-Nya yang menunjukkan kepada zat, sifat, syariat, takdir dan tanda-tanda kebesaran-Nya. Allah memuji hamba-hamba-Nya yang beriman “yang mengingat Allah SWT ketika duduk, berdiri dan berbaring, mereka merenungkan penciptaan langit dan bumi” sambil berkata “Ya Tuhan kami, tidakah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia “Yakni tidaklah Engkau menciptakan makhluk ini dengan main-main, namun secara hak agar Engkau membalas orang-orang yang beramal buruk sesuai dengan apa yang telah mereka lalukan serta membalas orang yang berbuat baik dengan balasan kebaikan. Kemudian mereka menyucikan Allah SWT dari sifat main-main. “Maka lindungilah kami dari azab neraka” dengan upaya dan kekuatan-Mu dan mudahkanlah kepada kami dalam melakukan amal yang diridhai oleh Engkau dan kami, serta tunjukanlah kami kepada surga Na’im, juga lindungilah kami dari azab-Mu yang pedih. Mereka berkata “Maha suci Engkau” dari perbuatan menciptakan sesuatu dengan hak dan adil. Wahai zat yang Dia itu disucikan dari segala dzat kekurangan, kecacatan dan main-main”.

I.3. QS. At-Taubah : 122
              ɧ43;          

Artinya : “Tidak sepatutnya orang-orang yang beriman itu berangkat semuanya, Mengapa tidak pula berangkat satu rombongan dari tiap-tiap golongan itu untuk mempelajari perkara agama supaya mereka dapet memberikan peringatan kepada kaumnya bila telah kembali kepada mereka. Mudah-mudahan mereka bersikap hati-hati”.
Ayat ini merupakan penjelasan dari Allah SWT, bagi berbagai golongan arah yang hendak berangkat bersama Rasulullah SAW ke perang tabuk. Sesungguhnya ada segolongan ulama salaf yang berpendapat bahwa setiap muslim wajib berangkat untuk berperang. Apabila Rasul pun berangkat, oleh karena itu Allah SWT, berfirman : “Maka pergilah kamu semua dengan ringan maupun berat” (QS. Al-Taubah 41).

I.4. QS. Al-Ankabut : 19-20
         •              ɦ92;    •   •      

Artinya : “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan permulaan, kemudian Dia mengulanginya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (19) Katakanlah “Berjalanlah di muka bumi lalu perhatikanlah bagaimana Allah mencipta dari permulaan, kemudian Allah menjadikan sekali lagi, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (20)

Allah SWT memberitahukan tentang al-khalil a.s bahwasanya dia menegaskan hari kiamat kepada kaumnya dan mengingkarinya, penegasan itu melalui hasil penciptaan Allah SWT yang dapat mereka lihat pada diri mereka sendiri, setelah sebelum mereka bukan apa-apa dzat yang memulai penciptaan dari tiada adalah berkuasa pula untuk mengembalikannya. Dan itu mudah bagi-Nya. Penegasan itu juga dilakukan dengan mengambil pelajaran dari penciptaan langit dan bumi, makhluk-makhluk yang ada pada keduanya dan benda-benda yang ada dikeduanya menunjukan kepada adanya pembuatan sebagai pencipta yang mutlak yang mengatakan kepada sesuatu “jadilah” Maka iapun menjadi.

I.5. QS. Al-A’raaf : 179
  •                    ᠋2;           

Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan untuk jahanam sebagian besar jin dan manusia, mereka memiliki hati yang tidak mereka gunakan untuk memahami, memiliki mata yang tidak mereka gunakan untuk melihat, dan memiliki telinga yang tidak mereka gunakan untuk mendengar, mereka itu seperti bintang, bahkan lebih sesat. Mereka itu adalah orang-orang yang lalai.

Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya kami telah menciptakan untuk jahanam sebagian besar jin dan manusia” Yakni kami menyiapkan mereka untuk jahanam dan berperilaku penghuni jahanam. Hal itu karena tatkala Allah hendak menciptakan makhluk, maka dia mengetahui apa yang akan mereka lakukan sebelum keberadaan mereka, kemudian apa yang akan mereka lakukan itu ditulis dalam kitab. Hal itu terjadi 50 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi, sebagaimana hal itu dikemukakan dalam shahih muslim dari Abdullah bin Amr bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, yang artinya :
“Allah SWT, menetapkan takdir-takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum dia menciptakan langit dan bumi dan arasy di atas air” (HR. Muslim).

“Mereka memiliki hati yang tidak mereka gunakan untuk memahami, memiliki mata yang tidak mereka gunakan untuk melihat dan memiliki telinga yang tidak mereka gunakan untuk mendengar” Yakni mereka tidak memanfaatkan sedikit pun organ-organ tubuh yang telah dijadikan Allah SWT sebagai sarana untuk memperoleh hidayah. Allah SWT berfirman “Mereka tuli, bisu dan buta maka tidaklah mereka akan kembali” (QS. Al-Baqarah : 18), mereka tidak tulis, tidak bisu dan tidak buta kecuali terhadap hidayah. Hal ini difirmankan Allah SWT “Karena sesungguhnya bukan mata itu yang buta, namun yang buta ialah hati yang ada di dalam dada”. (QS. Al-Hajj : 46).

Firman Allah SWT “Mereka itu seperti binatang” yakni orang-orang yang tidak menyimak kebenaran tidak menyadarinya dan tidak melihat hidayat adalah seperti binatang yang dipelas yang tidak memanfaatkan organ-organ tubuh itu kecuali sekedar untuk memperoleh makanan dalam kehidupan lahiriah dunia. Binatang itu mendengar suara penggembalanya namun ia tidak memahami apa yang diucapkannya. Maka sehubungan dengan mereka Allah SWT berfirman “Bahkan mereka lebih sesat” dari pada binatang-binatang itu, sebab binatang kadang-kadang dapat menuruti penggembala walaupun ia tidak memahaminya, kemudian binatang itu berbuat menurut tujuan penciptaannya baik berdasarkan nalurinya maupun karena ketaklukannya. Hal itu berbeda dengan orang kafir, sesungguhnya Allah SWT menciptakan dia supaya menghambakan diri kepada Allah SWT dan mengesakan-Nya, lalu dia mengingkari dan menyekutukan Allah SWT, maka manusia yang taat kepada Allah SWT adalah lebih mulia keadaannya di akhirat daripada malaikat, sedangkan manusia yang kafir kepada-Nya adalah lebih buruk dari pada binatang. Oleh karena itu Allah SWT, berfirman “Mereka itu adalah orang-orang yang lalai”.

I.6. QS. Al-Baqarah : 269
                  

Artinya : “Allah menganugrahkan Al-Hikmah kepada siapa yang dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi AL-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan, hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari Firman Allah)”.

Firman Allah “Dia menganugerahkan Al-Hikmah kepada siapa yang dikehendaki” yakni pengetahuan mengenai Al-Qur’an menyangkut masalah nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, yang pertama dan yang kemudian turun, halal dan haram, serta masalahlainnya. Demikianlah menurut Ibnu Abbas.
Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ “Pangkah hikmah adalah rasa takut kepada Allah” Laits bin Salim berkata “Hikmah ialah pengetahuan, fiqh dan al-Qur’an” Abu Al-Alliyah berkata “Hikmah adalah rasa takut kepada Allah”. Ada pula yang mengatakan hikmah itu pemahaman, sunnah, akal dan menurut Malik adalah pemahaman terhadap agama, perkara yang dimasukkan Allah SWT, kepada kalbu yang berasal dari Rahmat dan karunia-Nya menurut As-Sadi hikmah ialah kenabian.
Demikianlah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah dari berbagai jalan yang bervariasi dan berasal dari Ismail bin Abi Khalid. Firman Allah SWT “Dan tidaklah mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang berakal” maksudnya tidaklah mengambil manfaat dari nasihat dan peringatan kecuali orang memiliki akal dan penalaran, maksudnya mengambil pelajaran dari khithab dan makna firman Allah SWT.
Menurut keterangan AL-Ustazul Imam, Syekh Muhammad Abdul, hikmah adalah ilmu yang ditetapkan di dalam diri, jadi hakim kepada iradah membawa manusia kepada beramal, manala amal itu terbit dari pada ilmu yang shahih adalah ia menjadi amal shalih lagi memberi manfaat yang membawa kepada kebahagiaan.

II. HADITS
II.1. Hadits Sohih Bukhori Jilid I

قَالَ حُمَيْدُ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ خَطِيْبًا يَقُوْلُ سَمِعْتُ النبَّيَِّ صلعم يَقُوْلُ مَنْ ُيرِيْدِ الله بِهِ خَيْرًا يُفَقِّه ُفى الِّدْينِ وَاِنَّمَا اَنَا قَاسِمٌ و 575;للهُ يُعْطِى وَلَنْ تَزَالْ هَذِهِ الاُمَّةُ قَائِمًا عَلىَ اَمْرِاللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَلَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِي امَرْ ُالله

Artinya : Humaid bin Abdurrohman r.a mengatakan bahwa ia mendenganr mu’awiyah berkhutbah katanya, “ Dia mendengar Rosululloh saw. Bersabda : “barang siapa dikehendaki Alloh akan beroleh kebaikan, diberi-Nya pengertian dalam hal agama. saya hanya membagi-bagikan, sedang yang memberi ialah Alloh selama (ummat islam) berdiri teguh diatas agama Alloh, tidak satupun penantang-penantang mereka yang sanggup membinasakan mereka sampai kiamat datang”.




DAFTAR PUSTAKA


 Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, 2, 3, 4 Muhammad Nasib Arrifa’I. Gema Insani Jakarta 2000
 Terjemah Tafsir Jalalein Jilid 1, 2, 3, 4 Imam Jalaluddin Al-Mahali dan Imam Jalaluddin as-Sayuti. Sinar Baru Bandung 1990.
 Tafsir Al-Qur`anul Karim Jilid 2, 3 H. Zaenal Arifin Abas, Firma Islamiyah Medan 1957
 Hamidy, Wijaya, Jakarta, 1959.
 Tarjamah Bukhori Muslim PT Widjaya Jakarta

Selasa, 30 Maret 2010

SHOLAWAT



oleh : Bubung Nizar Pamungkas
BOLEHKAN BERSHOLAWAT????

1. Arti Shalawat
SHALAWAT bentuk jamak dari kata salla atau salat yang berarti: doa, keberkahan, kemuliaan, kesejahteraan, dan ibadah.
Arti bershalawat dapat dilihat dari pelakunya. Jika shalawat itu datangnya dari Allah Swt. berarti memberi rahmat kepada makhluk. Shalawat dari malaikat berarti memberikan ampunan. Sedangkan shalawat dari orang-orang mukmin berarti suatu doa agar Allah Swt. memberi rahmat dan kesejahteraan kepada Nabi Muhammad Saw. dan keluarganya.
Shalawat juga berarti doa, baik untuk diri sendiri, orang banyak atau kepentingan bersama. Sedangkan shalawat sebagai ibadah ialah pernyataan hamba atas ketundukannya kepada Allah Swt., serta mengharapkan pahala dari-Nya, sebagaimana yang dijanjikan Nabi Muhammad Saw., bahwa orang yang bershalawat kepadanya akan mendapat pahala yang besar, baik shalawat itu dalam bentuk tulisan maupun lisan (ucapan).

2. Hukum Bershalawat
Para ulama berbeda pendapat tentang perintah yang dikandung oleh ayat "Shallû 'Alayhi wa Sallimû Taslîmân = bershalawatlah kamu untuknya dan bersalamlah kamu kepadanya," apakah untuk sunnat apakah untuk wajib.
Kemudian apakah shalawat itu fardlu 'ain ataukah fardlu kifayah. Kemudian apakah membaca shalawat itu setiap kita mendengar orang menyebut namanya ataukah tidak.
Asy-Syâfi'i berpendapat bahwa bershalawat di dalam duduk akhir di dalam sembahyang, hukumnya fardlu. Jumhur ulama berpendapat bahwa shalawat itu adalah sunnat.
Kata Al-Syakhâwî : "Pendapat yang kami pegangi ialah wajibnya kita membaca shalawat dalam duduk yang akhir dan cukup sekali saja dibacakan di dalam suatu majelis yang di dalam majelis itu berulang kali disebutkan nama Rasul.

Al-Hâfizh Ibn Hajar Al-Asqalânî telah menjelaskan tentang madzhab-madzhab atau pendapat-pendapat ulama mengenai hukum bershalawat dalam kitabnya "Fath al-Bârî", sebagaimana di bawah ini.
Para ulama yang kenamaan, mempunyai sepuluh macam madzhab (pendirian) dalam masalah bershalawat kepada Nabi Saw.:
Pertama, madzhab Ibnu Jarîr Al-Thabarî. Beliau berpendapat, bahwa bershalawat kepada Nabi, adalah suatu pekerjaan yang disukai saja.
Kedua, madzhab Ibnu Qashshar. Beliau berpen-dapat, bahwa bershalawat kepada Nabi suatu ibadat yang diwajibkan. Hanya tidak ditentukan qadar banyaknya. Jadi apabila seseorang telah bershalawat, biarpun sekali saja. Terlepaslah ia dari kewajiban.
Ketiga, madzhab Abû Bakar Al-Râzî dan Ibnu Hazmin. Beliau-beliau ini berpendapat, bahwa bershalawat itu wajib dalam seumur hidup hanya sekali. Baik dilakukan dalam sembahyang, maupun di luarnya. Sama hukumnya dengan mengucapkan kalimat tauhid. Selain dari ucapan yang sekali itu hukumnya sunnat.
Keempat, madzhab Al-Imâm Al-Syâfi'i. Imam yang besar ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib dibacakan dalam tasyahhud yang akhir, yaitu antara tasyahhud dengan salam.
Kelima, madzhab Al-Imâm Asy-Sya'bî dan Ishâq. Beliau-beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib hukumnya dalam kedua tasyahud, awal dan akhir.
Keenam, madzhab Abû Ja'far Al-Baqîr. Beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib dibaca di dalam sembahyang. Cuma beliau tidak menentukan tempatnya. Jadi, boleh di dalam tasyahhud awal dan boleh pula di dalam tasyahhud akhir.
Ketujuh, madzhab Abû Bakar Ibnu Bakir. Beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib kita membacanya walaupun tidak ditentukan bilangannya.
Kedelapan, madzhab Al-Thahawî dan segolongan ulama Hanafiyah. Al-Thahawî berpendapat bershalawat itu diwajibkan pada tiap-tiap kita mendengar orang menyebut nama Muhammad. Paham ini di ikuti oleh Al-Hulaimî dan oleh segolongan ulama Syâfi'iyyah.
Kesembilan, madzhab Al-Zamakhsyarî. Al-Zamakhsyarî berpendapat, bahwa shalawat itu dimustikan pada tiap-tiap majelis. Apabila kita duduk dalam suatu majelis, wajiblah atas kita membaca Shalawat kepada Nabi, satu kali.
Kesepuluh, madzhab yang dihikayatkan oleh Al-Zamkhsyarî dari sebagian ulama Madzhab ini berpendapat bahwa bershalawat itu diwajibkan pada tiap-tiap kita mendoa.

Untuk mengetahui manakah paham yang harus dipegangi dalam soal ini, baiklah kita perhatikan apa yang telah diuraikan oleh Al-Imâm Ibn Al-Qayyim dalam kitabnya Jalâul Afhâm, katanya : "Telah bermufakat semua ulama Islam atas wajib bershalawat kepada Nabi, walaupun mereka berselisih tentang wajibnya di dalam sembahyang. Segolongan ulama tidak mewajibkan bershalawat di dalam sembahyang. Di antaranya ialah, Al-Thahawî, Al-Qâdhî al-'Iyâd dan Al-Khaththabî. Demikianlah pendapat para fuqaha selain dari Al-Syâfi'i."
Dengan uraian yang panjang Al-Imâm Ibn Al-Qayyim membantah paham yang tidak mewajibkan shalawat kepada Nabi Saw. di dalam sembahyang dan menguatkan paham Al-Syâfi'i yang mewajibkannya.
Al-Imâm Ibn Al-Qayyim berkata: "Tidaklah jauh dari kebenaran apabila kita menetapkan bahwa shalawat kepada Nabi itu wajib juga dalam tasyahhud yang pertama. Cuma hendaklah shalawat dalam tasyahhud yang pertama, diringkaskan. Yakni dibaca yang pendek.
Maka apabila kita renungkan faham-faham yang telah tersebut itu, nyatalah bahwa bershalawat kepada Nabi itu disuruh, dituntut, istimewa dalam sembahyang dan ketika mendengar orang menyebut nama Nabi Muhammad Saw.

Berkata Al-Faqîh Ibn Hajar Al-Haitamî dalam Al-Zawâjir: "Tidak bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. ketika orang menyebut namanya, adalah merupakan dosa besar yang keenampuluh."

Artinya: "Apakah tidak lebih baik saya khabarkan ke-padamu tentang orang yang dipandang sebagai manusia yang sekikir-kikirnya? Menjawab sahabat : Baik benar, ya Rasulullah. Maka Nabi-pun bersabda : Orang yang disebut namaku dihadapannya, maka ia tidak bershalawat ke-padaku, itulah manusia yang sekikir-kikirnya." (HR. Al-Turmudzû dari 'Ali).
Kemudian hadis Nabi yang lain

Artinya: "Kaum mana saja yang duduk dalam suatu majelis dan melamakan duduknya dalam majelis itu, kemudian mereka bubar dengan tidak menyebut nama Allah dan tidak bershalawat kepada Nabi, niscaya mereka menghadapi kekurangan dari Allah. Jika Allah meng-hendaki, Allah akan mengadzab mereka dan jika Allah menghendaki, Allah akan memberi ampunan kepada mereka. " (HR Al-Turmudzî)

3. Dasar Hukum dan Dalil-dalil Shalawat

Dibawah ini adalah dalil-dalil tentang shalawat baik dari Al-Quran maupun Al-Hadis Nabi Saw., serta para ulama
AL-QUR'AN
Surat Al-Ahzâb ayat 43:

Artinya: "Dia-lah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohon ampunan untukmu) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang".
Surah Al-Ahzâb ayat 56:

Artinya: "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya".
Maksud Allah bershalawat kepada Nabi Saw. adalah dengan memberi rahmat-Nya; bershalawat malaikat kepada Nabi Saw. dengan memintakan ampunan; sedangkan bershalawatnya orang-orang mu'min kepada Nabi Saw. dengan berdoa supaya diberi rahmat seperti dengan per-kataan "Allâhumma Shalli 'alâ Muhammad"
Adapun salam kepada Nabi Saw. adalah dengan mengucapkan "Assalâmu Alayka Ayyuh al-Nabiyy."
Al-Hadits

Artinya: "Bershalawatlah kamu kepadaku, karena sha-lawatmu itu menjadi zakat (penghening jiwa pembersih dosa) untukmu." (HR. IbnMurdaweh)

Artinya: "Saya mendengar Nabi Saw. Bersabda janganlah kamu menjadikan rumah-rumahmu sebagai kuburan, dan janganlah kamu menjadikan kuburanku sebagai per-sidangan hari raya. Bershalawatlah kepadaku, karena shalawatmu sampai kepadaku dimana saja kamu berada." (HR. Al-Nasâ'i, Abû Dâud dan dishahihkan oleh Al-Nawâwî).
Diterangkan oleh Abû Dzar Al-Harawî, bahwa perintah shalawat ini terjadi pada tahun kedua Hijriyah. Ada yang berkata pada malam Isra' dan ada pula yang berkata dalam bulan Sya'ban. Dan oleh karena itulah bulan Sya'ban dinamai dengan "Syahrush Shalâti" karena dalam bulan itulah turunnya ayat 56, Surah ke-33 Al-Ahzâb


4. Fadhilah dan Faedah Bershalawat
Fadilah (keutamaan) bershalawat atas nabi sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran bahwa Allah Swt. dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat atas Nabi Muhammad Saw., seperti terlihat dalam firman-Nya: "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersha-lawat untuk Nabi... ." (QS.33:56).
Penggalan ayat ini menunjukkan bahwa Allah Swt. melimpahkan rahmat bagi Nabi Muhammad Saw. dan para malaikat memintakan ampunan bagi Nabi Muhammad Saw. Karena itu, pada lanjutan ayat tersebut, Allah Swt. menyuruh orang-orang mukmin supaya bershalawat dan memberi shalawat kepada Nabi Muhammad Saw.: "...Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya."
Untuk mengetahui keutamaan apakah yang diperoleh orang-orang yang bershalawat, baiklah kita perhatikan maksud-maksud hadis yang di bawah lni.
Bersabda Nabi Saw.

Artinya: "Barangsiapa bershalawat untukku sekali, niscaya Allah bershalawat untuknya sepuluh kali." (HR. Muslim dari Abû Hurairah).

Artinya: "Bahwasanya bagi Allah Tuhan semesta alam ada beberapa malaikat yang diperintah berjalan di muka bumi untuk memperhatikan keadaan hamba-Nya. Mereka me-nyampaikan kepadaku (sabda Nabi) akan segala salam yang diucapkan oleh ummatku." (HR. Ahmad. Al-Nasâ'i dan Al-Darimî).

Artinya: "Barangsiapa bershalawat untukku dipagi hari sepuluh kali dan di petang hari sepuluh kali, mendapatlah ia syafa'atku pada hari qiamat." (HR. Al-Thabrânî)

Artinya: "Manusia yang paling utama terhadap diriku pada hari qiamat, ialah manusia yang paling banyak bershalawat untukku." (HR. Al-Turmudzî).

Artinya: "Jibril telah datang kepadaku dan berkata: 'Tidakkah engkau ridha (merasa puas) wahai Muhammad, bahwasanya tak seorang pun dari umatmu bershalawat untukmu satu kali, kecuali aku akan bershalawat untuknya sebanyak sepuluh kali? Dan tak seorang pun dari umatmu mengucapkan salam kepadamu, kecuali aku akan meng-ucapkan salam kepadanya sebanyak sepuluh kali?! (HR. Al-Nasâ'i dan Ibn Hibban, dari Abû Thalhah).
Sabda Rasulullah Saw. yang Artinya: "Barangsiapa -ketika mendengar azan dan iqamat mengucapkan: "Allâhumma Rabba Hâdzih al-Da'wât al-Tâmmah, wa al-Shalât al-Qâ'imati, shalli 'alâ muhammadin 'abdika wa Rasûlika, wa A'tihi al-Washîlata wa al-Fadhîlata, wa al-Darâjata al-Râfi'ata, wa al-Syafâ'ata yawm al-Qiyâmati (Artinya: "Ya Allah, ya Tuhannya seruan yang sempurna ini, serta shalat yang segera didirikan ini, limpahkanlah shalawat untuk Muhammad, hamba dan rasul-Mu. Dan berilah ia wasilah dan fadilah serta derajat yang amat tinggi dan (izin untuk) bersyafaat pada hari Kiamat)..., maka (bagi siapa yang mengucapkan doa tersebut) niscaya akan beroleh syafaatku kelak."

Al-Ghazali didalam kitabnya Ihyâ 'Ulûm al-Dîn menceritakan seorang dari mereka (seorang dari kalangan ulama, sufi, ahli ibadah dsb.) pernah berkata: "Sementara aku menulis (catatan tentang) beberapa hadis, aku selalu mengiringinya dengan menuliskan shalawat untuk Nabi Saw., tanpa melengkapinya dengan salam untuk beliau. Malamnya aku berjumpa dengan beliau dalam mimpi, dan beliau berkata kepadaku: 'Tidakkah sebaiknya engkau melengkapi shalawatmu untukku dalam bukumu itu?' Maka sejak itu, tak pernah aku mengucapkan shalawat kecuali melengkapinya dengan ucapan salam untuk beliau."

Diriwayatkan dari Abû Al-Hasan, katanya: "Aku pernah berjumpa dengan Nabi Saw. dalam mimpi, lalu kukatakan kepada beliau: 'Ya Rasulullah, apa kiranya ganjaran bagi Al-Syâfi'i, ketika ia bershalawat untukmu dalam kitabnya: Al-Risâlah dengan ungkapan: 'Semoga Allah bershalawat atas Muhammad setiap kali ia disebut oleh para penyebut, dan setiap kali sebutan tentangnya dilalaikan oleh para pelalai?' Maka Nabi Saw. menjawab: 'Karena ucapannya itu, ia dibebaskan dari keharusan menghadapi perhitungan (hisab pada hari Kiamat).'"
Dalam kitab yang sama (Ihya) Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa sesungguhnya berlipatganda-nya pahala shalawat atas Nabi Saw. adalah karena shalawat itu bukan hanya mengandung satu kebaikan saja, melainkan mengandung banyak kebaikan, sebab di dalamnya ter-cakup :
1. Pembaharuan iman kepada Allah.
2. Pembaharuan iman kepada Rasul.
3. Pengagungan terhadap Rasul.
4. Dengan inayah Allah, memohon kemuliaan baginya.
5. Pembaharuan iman kepada Hari Akhir dan berbagai kemuliaan.
6. Dzikrullah.
7. Menyebut orang-orang yang shalih.
8. Menampakkan kasih sayang kepada mereka.
9. Bersungguh-sungguh dan tadharru' dalam berdoa.
10. Pengakuan bahwa seluruh urusan itu berada dalam kekuasaan Allah
Masih banyak keutamaan-keutamaan bagi orang-orang yang melakukan atau membaca shalawat atas Nabi. Namun penyusun hanya menukil beberapa hadis dan qawl (perkataan) ulama.
Adapun faedah atau manfaat bershalawat atas Nabi Muhammad Saw. sebagaimana dijelaskan hadis-hadis di atas terdapat sembilan belas perkara, yakni:
1. Memperoleh curahan rahmat dan kebajikan dari pada Allah Swt.;
2. Menghasilkan kebaikan, meninggikan derajat dan menghapuskan kejahatan;
3. Memperoleh pengakuan kesempurnaan iman, apabila kita membacanya 100 Kali;
4. Menjauhkan kerugian, penyesalan dan digolongkan ke dalam golongan orang-orang yang shalih;
5. Mendekatkan diri kepada Allah;
6. Memperoleh pahala seperti pahala memerdekakan budak;
7. Menghasilkan syafa'at;
8. Memperoleh penyertaan dari Malaikat rahmah;
9. Memperoleh hubungan yang rapat dengan Nabi; Seseorang yang bershashalawat dan bersalam kepada Nabi, shalawat dan salamnya itu disampaikan kepada Nabi;
10. Membuka kesempatan berbicara dengan Nabi Saw.;
11. Menghilangkan kesusahan, kegundahan dan meluaskan rezeki;
12. Melapangkan dada. Apabila seseorang membaca shalawat 100 kali, maka Allah akan melapangkan dadanya dan memberikan penerangan yang sinar seminarnya ke dalam hatinya;
13. Menghapuskan dosa. Apabila seseorang membaca dengan tetap tiga kali setiap hari, maka Allah akan menghapuskan dosanya;
14. Menggantikan shadaqah bagi orang yang tidak sanggup bershadaqah;
15. Melipatgandakan pahala yang diperoleh. Apabila seseorang bershalawat di hari Jumat, maka Tuhan akan memberikan kepadanya pahala yang berlipat ganda;
16. Mendekatkan kedudukan kepada Rasulullah di hari qiamat. Menyebabkan doa bisa diterima oleh Allah.
17. Menyebabkan doa bisa diterima oleh Allah;
18. Melepaskan diri dari kebingungan di hari qiamat. Apabila seseorang meninggalkan shalawat kepada Nabi, maka ia akan menghadapi kebingungan dan kekacauan di hari mahsyar;
Memenuhi satu hak Nabi, atau menunaikan suatu tugas ibadat yang diwajibkan atas kita Apabila sese-orang tidak bershalawat, berartilah ia enggan memenuhi suatu haq Nabi yang wajib ia penuhi;

5. Waktu dan Tempat yang Baik untuk Bershalawat

Shalawat atas Nabi Saw. disyariatkan pada waktu-waktu, tempat-tempat, dan keadaan-keadaan tertentu. Hal ini telah dibicarakan panjang lebar oleh Ibn Al-Qayyim di dalam kitab Jalâ 'u al-Afhâm fî Fadhli al-Shalâti wa al-Salâmi 'alâ Muhammad Khayr al-Anâm, Syaikh Islam Quthbuddin al-Haydhari al-Syâfi'i di dalam kitab Al-Liwâ al-Muallim bi Mawâthin al-Shalâh 'alâ al-Nabî Saw., Al-Hâfizh Al-Sakhâwi di dalam kitab Al-Qawl al-Badî', dan Al-Qasthallânî di dalam kitab Masâlik al-Hunafâ'.
Al-Khâtib di dalam kitab Syarh al-Minhâj, dan yang lainnya, berkata:
"Disunnahkan memperbanyak membaca Surah Al-Kahfi dan shalawat atas Nabi Saw. pada hari Jumat dan malam Jumat; paling sedikit, untuk yang pertama tiga kali dan untuk yang kedua tiga ratus kali."
Sementaraa itu, telah sah riwayat yang bersumber dari Imam Al-Syâfi'i r.a., yang mengatakan bahwa, barang-siapa yang membaca Surah Al-Kahfi pada hari Jumat, ia akan diterangi oleh cahaya yang ada di antara dua Jumat.
Diriwayatkan pula bahwa barangsiapa yang membaca Surah Al-Kahfi pada malam Jumat, ia akan diterangi oleh suatu cahaya antara dirinya dan Kabah. Membaca Surah Al-Kahfi di waktu siang lebih di-utamakan, dan lebih utama lagi bila ia dibaca sesudah selesai mengerjakan salat subuh, guna menyegerakan berbuat baik sebisa-bisanya.
Hikmah diperintahkannya membaca Surah Al-Kahfi pada hari Jum'at adalah karena didalam Surah itu Allah menggambarkan suasana Hari Kiamat, sementara hari Jum'at mirip dengan Hari Kiamat, karena orang banyak berkumpul untuk melaksanakan salat bersama-sama; juga karena Hari Kiamat itu terjadi pada hari Jum'at, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahih-nya.
Ramli mengatakan bahwa anjuran supaya memperbanyak pembacaan shalawat pada malam dan hari Jum'at itu didasarkan pada hadis yang berbunyi, "Sesungguhnya hari kalian yang paling utama adalah hari Jumat. Oleh karena itu, perbanyaklah kalian membaca shalawat atasku, sebab shalawat yang kalian baca itu diperlihatkan kepadaku."

Nabi Saw. bersabda, "Sesungguhnya semua amal itu diangkat pada hari Senin dan hari Kamis. Oleh karena itu, aku berhasrat agar amalku diangkat sementara aku dalam keadaan berpuasa."

Tentang hadis di atas, Al-Manawi, di dalam kitab Syarh Al-Jamî al-Shghîr; permulaan jilid III, berkata, "Disyariatkan berkumpul untuk membaca shalawat atas Nabi Saw. pada malam Jumat dan malam Senin, sebagaimana yang dikerjakan di masjid Jami' Al-Azhar dan disuarakan dengan suara yang keras." Dikatakan bahwa shalawat atas Nabi Saw. itu sudah mencakup doa di dalamnya. Ibn Marzûq berkata, "Malam Jumat lebih utama dan malam Qadar."

Jamâl kembali menyatakan bahwa disunnahkan membaca Surah Ali 'Imrân atas dasar hadis, "Barangsiapa yang membaca Surah Ali 'Imrân pada hari Jumat, niscaya dosa-dosanya ikut terbenam dengan tenggelamnya matahari pada hari itu."

Hikmahnya, kata Jamâl, adalah karena Allah menyebutkan di dalam surah itu penciptaan Nabi Adam a.s., sedangkan Adam a.s. diciptakan pada hari Jumat.

Disunnahkan juga membaca Surah Hûd dan Hâ Mîm Dukhân. Namun, bagi mereka yang hanya ingin memilih salah satu dari surah-surah yang disebutkan di atas, hendaklah ia memilih Surah Al-Kahfi karena banyaknya hadis yang meriwayatkannya
Adapun hadis-hadis lain yang menjelaskan waktu-waktu tertentu untuk membaca shalawat sebagai berikut:
Pertama, sesudah adzan.
Rersabda Rasulullâh Saw.

Artinya: "Apabila kamu mendengar muadzin membacakan adzan, sambutlah ucapannya. Sesudah selesai menyambut adzan, maka bershalawatlah kamu untukku."(HR. Muslim)
Nabi Saw. bersabda:

Artinya: "Apabila kamu mendengar seorang muadzin (tukang membaca adzan itu) bacalah (sambutlah bacaan adzan itu) seperti yang dibacakan olehnya. Kemudian (sesudah selesai adzan dibacakan), bershalawatlah kamu kepadaku. Sebenarnya barangsiapa bershalawat kepadaku dengan suatu shalawal, niscaya Allah bershalawat ke-padanya dengan sepuluh shalawat. Sesudah itu mohonlah kepada Allah wasilah untukku. Wasilah itu suatu ke-dudukan yang paling tinggi dalam syurga. Tidak dapat diperoleh, melainkan oleh seorang saja dari hamba-hamba Allah. Aku berharap semoga akulah yang mendapat ke-dudukan itu. Karena itu barang siapa memohonkan wasilah untukku, wajiblah baginya syafaatku. "(HR. Muslim).
Kedua, ketika hendak masuk ke dalam mesjid dan ketika hendak keluar daripadanya.
Rersahda Rasulullah Saw.:

Artinya: "Apabila seseorang kamu masuk ke dalam mesjid, maka hendaklah ia membaca "salam" kepadaku (membaca selwat dan salam). Sesudah itu hendaklah ia membaca: Allâhummaftah lî Abwâba Rahmatika (Wahai Tuhanku, bukakanlah untukku segala pintu rahmatmu). Dan apabila ia hendak keluar, hendaklah ia membaca (sesudah bershalawat): Allâhumma Innî As aluka min Fadhlika. (Wahai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu limpahan rahmat-Mu)." (HR. Abû Dâud).
Diberitakan oleh Ibn Al-Sunnî, bahwa Rasulullah apabila masuk ke dalam mesiid. maka beliau membaca:

Artinya: "Dengan nama Allah wahai tuhanku, berilah kebesaran kepada Muhammad."
Dan apabila beliau hendak keluar dari mesiid, maka beliau membaca
Ketiga, sudah membaca tasyahhud di dalam tasyahhud akhir.
Telah ditahqikkan oleh Al-Imâm Ibn Al-Qayyim dalam Jalâ'u al-Afhâm, bahwa madzhab yang haq dalam soal bershalawat dalam tasyahhud yang akhir, ialah madzhab Al-Syâfi'i. Yaitu mewajibkan shalawat kepada Nabi di dalamnya. Al-Imam Ibn Al-Qayyim berpendapat, bahwa shalawat itu dituntut juga di dalam tasyahhud yang pertama, walaupun tidak sekeras tuntutan seperti di dalam tasyahhud yang akhir.
Bersabda Rasulullah Saw.:

Artinya: "Apabila salah seorang kamu bertasayahhud di dalam sembahyang, maka hendaklah ia mengucapkan: Allâhumma Shalli 'alâ Muhammadin wa 'alâ Âli Muham-madin, Kamâ Shallayta wa Bârakta wa Tarahamta 'alâ Ibrâhîm wa Âli Ibrâhîm, Innaka Hamîdun Majîd." (HR. Al-Baihaqî ).
Keempat, di dalam sembahyang jenazah.
Berkata Al-Syâfi'i di dalam Al-Musnad: "Sunnah Nabi Saw. di dalam melaksanakan sembahyang jenazah ialah, bertakbir pada permulaannya, sesudah itu membaca Al-Fâtihah dengan tidak mengeraskan suara, kemudian sesudah takbir kedua membaca shalawat, sesudah bershalawat bertakbir lagi, takbir yang ketiga. Sesudah takbir yang ketiga ini membaca doa dengan sepenuh keikhlasan untuk jenazah itu. Dalam sembahyang jenazah tidak dibacakan surah (ayat-ayat Al-Quran). Sesudah itu bertakbir dan lalu memberi salam dengan suara yang tidak dikeraskan."
Kelima, diantara takbir-takbir sembahyang hari-raya.
Berkata para ulama: "Disukai kita membaca di antara takbir-takbir sembahyang hari-raya:

Artinya: "Saya akui kesucian Allah, segala puji dan sanjung kepunyaan Allah juga. Tak ada Tuhan yang seebenarnya berhak disembah, melainkan Allah senndiri-Nya dan Allah itu Maha Besar. Ya Allah, wahai Tuhanku, muliakan oleh-Mu akan Muhammad dan akan keluarganya, Ya Allah, Wahai Tuhanku, ampuniah akan aku dan beri rahmatlah kepadaku."
Keenam, di permulaan doa dan di akhirnya.
Bersabda Rasulullah Saw.:

Artinya:"Bahwasannya doa itu berhenti antara langit dan bumi, tiada naik, barang sedikit juga daripadanya sehingga engkau bershalawat kepada Nabi engkau." (HR. Al-Turmudzî).
Fadlalah Ibn 'Ubadi berkata: "Bahwasanya Rasulullah Saw. mendengar seorang laki-laki langsung berdoa dalam sembahyang (yakni dalam duduk tahiyat sesudah membaca tasyahhud), sebelum ia bershalawat. Maka Rasulullah berkata kepada orang yang di sisinya: Orang ini telah bergegas-gegas. Sesudah orang itu selesai sembahyang, Nabipun memanggil lalu mengatakan kepada-nya: Apabila bersembahyang seseorang kamu dan hendak berdoa di dalamnya, hendaklah ia memulai doanya dengan memuji Allah dan membesarkan-Nya. Sesudah itu bershalawat kepada Nabi Sesudah bershalawat, barulah mendoa memohon sesuatu yang dihajati." (HR. Abû Dâud dan Al-Nasâ'i).
Telah mufakat semua ulama, bahwa amat disukai memulai doa dengan memuji Allah (membaca Alhamdulillah). Di dalam sembahyang, maka tasyahhud adalah menggantikan kalimah puji (hamdalah). Sesudah memuji Tuhan bershalawat.
Demikian pula halnya ketika mengakhiri doa. Amat disukai kita mengakhirinya dengan shalawat dan memuji Allah.
Ketujuh, ketika hendak memulai sesuatu urusan penting dan berharga.
Diberitakan oleh Abû Hurairah, bahwa Nabi Saw. bersabda:


Artinya: "Tiap-tiap urusan penting yang berarti dan berharga yang tidak dimulai dengan hamdalah dan shalawat, maka urusan itu hilang berkatnya."(HR. Al-Rahawî).

Pengarang Syarah Dalâ'il, --menukil pernyataan yang diberikan oleh Qâdhi 'Iyâdh di dalam kitabnya Al-Syifâ'--mengatakan bahwa maksud pembacaan shalawat dalam pembukaan segala sesuatu itu adalah untuk bertabaruk (memohon berkah), sesuai dengan sabda Nabi Saw., "Setiap perbuatan penting yang tidak dimulai dengan menyebut nama Allah dan bershalawat kepadaku niscaya kurang sempurna."

Juga didasarkan atas firman Allah Swt. di dalam surah Al-Insyirah ayat 4, yang berbunyi:

Artinya: "Kami meninggikan bagimu sebutan (nama)-Mu." (OS. Al-Insyirah:4).
Tentang maksud ayat ini, sebagian ahli hadis meriwayatkan sebuah hadis dari salah seorang sahabat, yakni Abû Sad r.a., bahwa makna ayat tersebut adalah, "Tidaklah Aku (Allah) disebut, melainkan engkau (Muhammad) pun disebut pula hersama-Ku."
Memenuhi sebagian hak Rasulullah Saw., sebab beliau adalah perantara antara Allah Saw. dan hamba-hamba-Nya. Semua nikmat yang diterima oleh mereka -termasuk nikmat terbesar berupa hidayah kepada Islam- adalah dengan perantara dan melalui Rasulullah Saw.
Di dalam salah satu hadis, Rasulullah Saw. Bersabda, "Belumlah bersyukur kepada Allah orang yang tidak ber-terima kasih kepada manusia."
Memelihara perintah Allah Swt. yang dituangkannya di dalam firman-Nya yang berbunyi:

Artinya: "Hai orang-orang yang Beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi, dan ucapkanlah salampenghormatan kepadanya." (QS. Al-Ahzâb: 33).
Kedelapan, di akhir qunut
Diriwayatkan oleh Al-Nasâ'i, bahwa disukai kita mengakhiri qunut dengan shalawat. Tegasnya, disukai supaya kita bershalawat di akhir Qunut dengan kalimah:

Artinya: "Dan mudah-mudahan Allah melimpahkan shalawat-Nya atas Muhammad."
Kesembilan, di malam dan hari Jumat.
Bersabda Rasulullah Saw. :

Artinya: "Banyakkanlah olehmu membaca shalawat di malam hari Jumat dan siangnya karena shalawat itu dtkemukakan kepadaku. " (HR. Al-Thabrânî).
Dan sabdanya pula;

Artinya: "Banyakkanlah olehmu shalawat kepada-ku, karena shalawaatmu itu akan menjadi cahaya bagimu pada hari qiyamat." (HR Al-Thrmudzî dan Abû Dâud).
Al-Ustâdz Mahmûd Sâmi dalam karyanya Mukhtashar fi Ma'ânî Asmâ Allah al-Husnâ, bâbu al-Shalâh 'alâ al-Nabi, menceritakan 'Umar bin 'Abdul 'Azîz r.a. pernah menulis, "sebarkanlah ilmu pada hari Jumat, sebab bencana ilmu itu adalah lupa. Perbanyaklah pula kalian membaca shalawat atas Nabi Saw. pada hari jumat.
Sementara Imam Al-Syâfi'i r.a. Berkata, "Aku suka memperbanyak membaca shalawat dalam setiap keadaan. Namun, pada malam dan hari Jumat lebih aku sukai, karena ia merupakan hari yang paling baik.
Kesepuluh, di dalam khutbbah.
Menurut madzhab Al-Syâfi'i, para khatib wajib membaca shalawat untuk Nabi Saw. pada permulaan khuthbah, sesudah membaca tahmid.
Ibnu Katsîr herkata: "demikianlah madzhab Al-Syâfi'i dan Ahmad."
Kesebelas, ketika berziarah ke kubur Nabi Saw.
Bersabda Nabi Saw.

Artinya: "Tidak ada seorangpun di antara kamu yang memberikan salamnya kepadaku yakni di sisi kuburku, melainkan Allah mengembalikan kepadaku ruhku untuk mniawab salamnya itu." (HR. Abû Dâud).
Kedua belas, sesudah bertalbiyah.
Berkata Muhammad Ibn Al-Qasim:

Artinya: "Memang disuruh seseorang membaca shalawat kepada nabi apabila dia telah selesai membaca talbiyahnya dalam segala keadaan." (HR. Al-Syâfi'i dan Al-Dâruquthnî).
Ketiga belas, ketika telinga mendenging.
Bersabda Rasulullah Saw :

Artinya: "Apabila mendenging telinga salah seorang di antaramu, maka hedaklah la mengingat dan bershalawat kepadaku." (HR. Ibn Al-Sunî)
Keempat belas, tiap-tiap mengadakan majlis.
Bersabda Ralulullah Saw :

Artinya: "Tidak duduk sesuatu kaum di dalam sesuatu majlis, sedang mereka tidak menyebut akan Allah dan tidak betshalawat kepda Nabinya, melainkan menderita kekuranganlah maka jika Allah mmghendaki niscaya Allah akan mengazab mereka dan jika Allah menghendaki, niscaya akan mengampuni mereka." (HR. Al-Thrmudzî Abû Dâud).
Kelima belas, di kala tertimpa kesusahan dan kegundahan.
Diberitakan oleh Ubay Ibn Ka'ab, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw. ujarnya: "Ya Rasulallah, bagaimana pendapat engkau sekiranya saya jadikan shalawat saya untuk engkau semua?
Rasulullah Saw. menjawab :
"Kalau demikian Allah akan memelihara engkau dari segala yang membimbangkan engkau, baik mengenai dunia, maupun mengenai akhirat engkau. "(HR. Ahmad).
Keenam belas, tiap-tiap waktu pagi dan petang.
Bersabda Rasululullah Saw:

Artinya: "Barangsiapa bershalawat kepadaku waktu pagi sepuluh kali waktu petang sepuluh kali, maka ia akan mendapat syafa'atku di hari qiamat, " (HR. Al-Thabarî).
Ketujuh belas, waktu berjumpa dengan para shahabat, handai dan tolan.
Besabda Rasulullah Saw :

Artinya: "Tidak ada dua orang hamba yang berkasih-kasihan karena Allah, apabila berjumpa salah seorang dengan yang lainnya lalu berjabatan tangan dan bershalawat kepada Nabi Saw., melainkan Allah mengampuni dosanya sebelum mereka berpisah, baik yang telah lalu maupun yang akan datang. " (HR Ibn Al-Sunnî).
Kedelapan belas. ketika Orang menyebut nama Rasulullah Saw.:

Artinya: "Orang yang kikir ialah: Orang yang tidak mau bershalawat ketika orang menyebut namaku di sisinya." (HR. Ahmad).

Inilah delapan belas tempat atau waktu yang ditentukan supaya kita bershalawat kepada Nabi, ketika kita berada pada tempat, waktu atau keadaan itu. Maka marilah kita wahai para pencinta Rasul, bershalawat kepadanya pada tempat-tempat, waktu-waktu dan keadaan-keadaan tertentu dengan sebaik-baiknya.

Kemudian kita perhatikan makna hadis yang tersebut di bawah ini. Bersabdalah Rasulullah Saw :

Artinya: "Tidak beriman salah seorang kamu, sehingga la mencintai aku lebih daripada anaknya, ayahnya dan manusia semua." (HR. Al-Bukhârî, Muslim, dan Ahmad)

Artinya: "Diriwayatkan bahwasanya 'Umar pernah berkata kepada Rasulullah Saw.: Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih kucintai dari segala sesuatu, kecuali kecintaanku terhadap diriku. Menjawab Nabi: Ya 'Umar engkau belum lagi mencintai aku sebelum engkau melebihkan cintamu itu daripada kepada dirimu sendiri. Mendengar itu 'Umarpun berkata: Demi Allah, engkau ya Muhammd, lebih aku cintai daripada diriku sendiri! Nabi menjawab: barulah sekarang engkau mencintai aku hai 'Umar." (HR. Ahmad, Bukhârî, dan Muslim).
Sebagai tanda mencintai Rasulllah Saw. itu, ialah: memperbanyak shalawat kepadanya. Dan marilah kita ber-shalawat kepadanya dengan khusyu' dan khudlu', terlepas dari riya. Karena sealawat yang dilakukan dengan riya, tiadalah diridlai oleh Allah dan tiada pula diterima-Nya