Senin, 26 September 2011

Minggu, 25 September 2011

PHOTOGRAFI

oleh : BUBUNG NIZAR






PHOTOGRAFI

oleh : BUBUNG NIZAR





Senin, 12 September 2011

PHOTOGRAFI

oleh : BUBUNG NIEZAR PAMUNGAS





PHOTOGRAFI

oleh : BUBUNG NIZAR






oleh : BUBUNG NIEZAR PAMUNGKAS
----

PHOTOGRAFI

oleh : BUBUNG NIZAR






OLEH : BUBUNG NIEZAR PAMUNGKAS
======

MENGUKUR IKHLAS

oleh : BUBUNG NIZAR

Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khathab ra, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niatnya dan tiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka ia akan mendapatkan pahala hijrah karena Allah dan Rasulullah. Barang siapa yang hijrahnya karena faktor duniawi yang akan ia dapatkan atau karena wanita yang akan ia nikahi, maka ia dalam hijrahnya itu ia hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR Bukhari-Muslim)

Setiap amal bergantung kepada niatnya. Yup, benar banget. Niatnya pun kudu ikhlas karena ingin mengharap keridhoan Allah Swt. semata. Hmm.. kudu ikhlas ya? Waduh, kayaknya kata itu buat kita jadi makin asing neh. Bukan kenapa-kenapa, susah juga nemuin orang yang mau ikhlas di jaman sekarang. Segalanya diukur dengan duit, dengan harta benda, ketenaran, cari muka dan sejenisnya. Iya, maksudnya kalo kita mau nolong orang kadang yang kepikiran: nih orang mau ngehargai gue nggak sih; orang ini kalo gue bantu mau balas jasa nggak ke gue; kalo gue menolong dia nama gue harum nggak sih; kalo gue nolong orang ini, kira-kira berapa gue dibayar; dan seabreg pikirin lainnya yang ujungnya itung-itungan deh.

Bro en Sis, secara teori udah banyak orang yang jelasin. Seperti kata teori pula, kayaknya gampang untuk bisa ikhlas. Tapi praktiknya, duh kita bisa rasakan sendiri gimana susahnya jaga hati dan jaga pikiran biar ikhlas kita nggak ternoda. Soalnya, ada aja celah yang bisa bikin kita melenceng dari niat awal dalam berbuat. Awalnya sih insya Allah bakalan ikhlas, eh nggak tahunya di tengah jalan ada yang godain kita supaya nggak ikhlas. Halah, gawat bener kan?

Sobat muda muslim, sekadar ngingetin memori kita, dalam Islam ikhlas ternyata mendapat perhatian khusus lho. Soalnya, ini erat kaitannya dengan amal perbuatan kita dan keimanan kita kepada Allah Swt. Jangan sampe deh kita beramal diniatkannya bukan karena perintah Allah Swt. atau bukan karena ingin mendapat ridho Allah Swt. Kalo sampe diniatkan dalam beramal karena ingin dipuji manusia gimana tuh? Duh, nggak tega deh saya nyebutinnya. Soalnya, tuh amal nggak bakalan ada bekasnya alias nggak mendapat ridho Allah Swt. Amal kita jadi sia-sia, Bro. Ih, nggak mau kan kita beramal tapi nggak dapat pahala? Amit-amit deh!

Bro en Sis, ikhlas adalah melakukan amal, baik perkataan maupun perbuatan ditujukan untuk Allah Ta’ala semata. Allah Swt. dalam al-Quran menyuruh kita ikhlas, seperti dalam firmanNya (yang artinya): “dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS Yunus [10] :105)

Rasulullah saw, juga ngingetin kita melalui sabdanya (yang artinya), “Allah tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas untuk mencari ridha Allah semata.” (HR Abu Daud dan Nasa’i)

Imam Ali bin Abu Thalib r.a juga berkata, “orang yang ikhlas adalah orang yang memusatkan pikirannya agar setiap amal diterima oleh Allah.”

Bro, sekadar tahu aja bahwa ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seseorang nggak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Firman Allah Swt (yang artinya): Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS al-An’aam [6]: 162)

Allah Swt. juga berfirman dalam ayat lain (yang artinya), “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS al-Bayyinah [98]: 5)

Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”

Karena itu nggak heran kalo Ibnu Qayyim al-Jauziyah ngasih perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau menulis, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”

Bro, lawannya ikhlas itu adalah ujub dan riya’. Itulah sebabnya orang yang sekaliber Umar bin Abdul ‘Aziz r.a. pun sangat takut akan penyakit riya’. Ketika ia berceramah kemudian muncul rasa takut dan penyakit ujub, segera ia memotong ucapannya. Dan ketika menulis karya tulis dan takut ujub, maka segera merobeknya. Subhanallah!

Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengomentari ayat kedua dari surat al-Mulk (liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalaa), bahwa maksud dari amal yang ihsan (paling baik) adalah amal yang akhlash (paling ikhlas) dan yang ashwab (paling benar). Ada dua syarat diterimanya amal ibadah manusia, ikhlas dan benar. Amal perbuatan, termasuk ibadah yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata tetapi pelaksanaannya tidak sesuai dengan syariat Islam, maka amal tersebut tidak akan diterima Allah. Begitu juga sebaliknya, jika perbuatan dan ibadah dilakukan sesuai dengan syariat, tetapi yang melaksanakannya tidak semata-mata ikhlas karena Allah, maka amalnya tidak diterima.

Ikhlaskah kita?
Ikhlaskah kita jika beramal tapi ngarepin imbalan materi? Ah, kamu pasti bisa menilai sendiri deh. Iyalah. Misalnya nih, kalo ortu kamu minta tolong sama kamu untuk belanja kebutuhan dapur ke warung dekat rumah, kemudian kamu minta imbalan ke ortu kamu, ati-ati lho. Itu bisa termasuk nggak ikhlas kamu berbuat. Sebaiknya lurus-lurus aja. Nggak ngerasa ada ruginya alias nothing to lose, gitu lho. Mau dapet materi apa nggak dari apa yang kita usahain, kita nggak peduli. Nolong aja. Apalagi itu sama ortu. Jangan sampe deh ketika ortu minta tolong, eh kita malah pake tarif segala: Jauh-dekat Rp 2000 (idih, emangnya naik angkot!).

Bro, kalo kebetulan kamu ditunjuk jadi ketua OSIS atau ketua Rohis, nggak usah ngarepin materi dari jabatan yang kamu sandang. Kalo kamu beranggapan bahwa dengan menjadi ketua OSIS kamu bakalan bisa dengan mudah narikin iuran dari siswa terus kamu bisa memperkaya diri, wah itu namanya bukan cuma nggak ikhlas tapi udah melakukan penyalahgunaan jabatan.

Bro, meski kita nggak ngarepin imbalan secara materi, tapi yakin deh bahwa apa yang kita lakukan pasti mendapat ganjaran kebaikan lain di sisi Allah Swt. Jadi, nothing to worry about alias nggak perlu cemas dengan jaminan kebaikan dalam bentuk lain yang Allah berikan sebagai ‘imbalan’ atas keikhlasan kita. Intinya sih, jangan ngarepin imbalan dari manusia, cukup ridho dari Allah Ta’ala aja yang kita harepin. Setuju kan?

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik ra., ia berkata: Aku pernah berjalan bersama Rasulullah saw. Beliau mengenakan selendang dari Najran yang kasar pinggirnya. Tiba-tiba seorang badui berpapasan dengan beliau, lalu menarik selendang beliau dengan kuat. Ketika aku memandang ke sisi leher Rasulullah saw. ternyata pinggiran selendang telah membekas di sana, karena kuatnya tarikan. Orang itu kemudian berkata: Hai Muhammad, berikan aku sebagian dari harta Allah yang ada padamu. Rasulullah saw. berpaling kepadanya, lalu tertawa dan memberikan suatu pemberian kepadanya. (HR Muslim)

Subhanallah, Rasulullah saw. malah memberikan harta (berinfak), padahal orang badui itu memintanya dengan kasar. Tapi itulah Rasulullah saw. sudah mengajarkan kepada umatnya bahwa beramal baik harus ikhlas dan tanpa pertimbangan untung-rugi lagi. Hebat kan, Bro?

Oya, keikhlasan kita juga akan diuji saat kita merasa ingin dilihat oleh orang lain, lho. Kalo mikirin hawa nafsu sih, kadang kita kepikiran ya pengen dilihat oleh teman kita ketika kita berbuat sesuatu. Ketika masukkin duit ke keropak di masjid, kita bahkan kepengin banget diliatin ama temen di sebelah kita. Emang sih, duitnya kita tutupi dengan tangan satunya saat masukkin ke keropak yang diedarkan di masjid kalo ada acara di sana. Apalagi kalo sampe terbersit di pikiran dan hati kita akan adanya decak kagum dari teman yang ngeliat amal kita, “subhanallah ya, dia rajin shadaqahnya”. Duh, itu bisa menodai amalan kita, Bro. Emang nggak mudah berbuat ikhlas ya. Tapi bukan berarti nggak bisa dilakukan.

Saat tampil jadi imam shalat, dan kebetulan bacaan al-Quran kita maknyus alias enak didengerin sama jamaah lain, jangan sampe deh kita punya pikiran ingin dianggap paling hebat. Apalagi kalo sampe diam-diam kita malah mengagumi diri sendiri, “orang lain nggak ada yang bisa kayak saya. Mereka pantas memilih saya jadi imam shalat”. Ah, ngeri deh. Ngeri kalo amalan kita bakalan nguap begitu aja. Insya Allah cara shalatnya sih bener asal ngikutin aturan yang udah ditetapkan dalam fiqih, tapi persoalan niat yang ada di pikiran dan hati bisa merusak amalan baik kita. Bener lho. Gara-gara nggak ikhlas, amal kita jadi sia-sia. Karena kita lebih ngarepin agar diliat oleh orang daripada ingin diliat sama Allah Swt.

Bro en Sis, emang sih kita bisa merasakan langsung kalo targetnya ingin diliat orang. Begitu suara kita mengalun manis dan easy listening saat mendendangkan nasyid terbaru dan kemudian para jamaah penonton konser nasyid tingkat RT yang kita ikutin itu bersorak gembira dan mengelu-elukan kita, pasti deh ada aja sedikit rasa jumawa en bangga diri (gue gitu, lho!). Awalnya sih boleh-boleh aja kita merasa ingin dihargai orang lain. Wajar kok. Tapi yang nggak wajar adalah kita merasa harus memposisikan diri selalu ingin dihargai dan dihormati. Kalo nggak dihargai ngambek dan kecewa. Nah, yang bisa merusak amal kita adalah karena niat yang udah tercemar “ingin selalu diliat orang”. Padahal, menjadi “dilihat orang” adalah efek samping, bukan tujuan kita dalam berbuat/beramal. Orang yang sering tampil dimuka umum wajar atuh kalo akhirnya dikenal. Tul nggak sih?

Muhasabah diri
Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Hasyr [59]: 18)

Ayat ini merupakan isyarat untuk melakukan muhasabah setelah amal berlalu. Karena itu Umar bin Khaththab ra berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab” (Ibnu Qudamah, Minhajul Qashidin (terj.), hlm. 478)

Muhasabah di sini artinya senantiasa memeriksa diri kita sendiri. Sudah sejauh mana sih yang kita raih dalam beramal baik. Sudah banyak nggak pahala yang kita perbuat, atau jangan-jangan malah sebaliknya kedurhakaan yang mengisi penuh pundi-pundi amal yang bakalan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah?

Yuk, kita bareng-bareng meningkatkan kualitas amalan kita dan memperbanyak amal shaleh. Senantiasa ikhlas, bersabar, dan bersyukur kepada Allah Swt. Nggak jamannya lagi mengingkari kelemahan kalo sejatinya kita emang lemah dan nggak mampu. Juga nggak perlu malu mengakui kesalahan jika memang kita salah. Jangan menyerang orang lain yang kita tuding sebagai biang kesalahan kita, tapi kita melakukan interospeksi diri. Sebab, kita hidup bersama orang lain. Dan kita memang saling membutuhkan satu sama lain. Kita juga pasti butuh kepedulian dari orang lain (termasuk kita sendiri harus peduli dengan orang lain). Itu sebabnya, kita harus ikhlas menerima teguran dan nasihat dari teman kita. Jangan merasa terhina jika dinasihati. Tapi sebaliknya, merasa diistimewakan karena selalu diingatkan.

Nikmati dunia ini dengan cara yang benar dan tuntunan yang sesuai ketetapan Allah Swt. dan RasulNya. Tak perlu khawatir, karena semua yang diberikan oleh Allah Swt. kepada kita adalah demi kebaikan kita. Tetaplah kita bersama Allah Swt. dan RasulNya. Jalani hidup dengan ikhlas, insya Allah nikmat, bahagia, tanpa perlu merasa was-was. Ikhlas menjadikan kita lebih terhormat di hadapan Allah Swt., juga menjadikan orang lain berusaha mencontoh pribadi kita yang baik. Semoga, kita semua bisa menjadi hamba-hamba Allah Swt. yang senantiasa ikhlas menghadapi berbagai kenyataan hidup sembari berdoa memohon ampun dan pertolongan kepada Allah Swt. Kita muhasabah diri: seberapa ikhlaskah kita? Hanya kita yang mampu menjawabnya. Interospeksi yuk! [solihin: osolihin@gaulislam.com | http://osolihin.com]

NIAT YANG IKHLAS

oleh : BUBUNG NIZAR

NIAT YANG IKHLAS
________

Setiap hamba Allah memiliki kemampuan dan kemauan dalma beribadah yang berbeda-beda. Sedangkan nilai ibadah seorang hamba di hadapan Allah ditunjukkan dengan ikhlasnya dalam beramal. Tanpa keikhlasan takkan berarti apa-apa amal seorang hamba. Tidak akan ada nilainya di sisi Allah jika tidak ikhlas dalam beramal.

Niat adalah pengikat amal. Keikhlasan seseorang benar-benar menjadi teramat sangat penting dan akan membuat hidup ini menjadi lebih mudah, indah dan jauh lebih bermakna.

Balasan yang dinikmati oleh hamba Allah yang ikhlas adalah akan memperoleh pahala amal, walaupun amalan tersebut belum dilakukan. Disamping itu akan merasakan ketentraman jiwa, ketenangan batin. Betapa tidak? Karena dia tidak diperbudak oleh penantian untuk mendapatkan pujian, penghargaan atau imbalan. Dipuji atau tidak sama saja.

KONSENTRASIKAN AMALMU HANYA KEPADA ALLAH
Orang yang ikhlas adalah orang yang tidak menyertakan kepentingan pribadi ataupuan imbalan duniawi dari apa yang dapaat dia lakukan. Konsentrasi orang ikhlas hanya satu, yakni bagaimana agar apa yang dilakukannya diterima oleh Allah.

Berhati-hatilah bagi orang-orang yang ibadahnya temporal, karena bisa jadi perbuatan tsb merupakan tanda-tanda keikhlasan belum sempurna. Yang ukuran nilai ibadahnya adalah duniawi. Misalnya ketika wudlu…ternyata disamping ada seoran gulaa yang cukup terkenal dan disegani, makan wudlu kita pun secara sadar atau tidak tiba-tiba dibagus-baguskan.

Hamba Allah yang ikhlas mampu beribadah secara istiqamah dan terus menerus kontinu. Orang-orang yang ikhlas adalah orang yang kualitas amalnya dalam kondisi ada atau tidak adanya orang yang memperhatikan adalah sama. Berbeda dengan orang yang kurang ikhlas, ibadahnya justru lebih bagus ketika ada orang lain memperhatikannya.

Seorang pembicara yang tulus tidak harus merekayasa aneka kata-kata agar penuh pesona, tetapi dia usahakn agar setiap kata-kata yang diucapkan benar-benar menjadi kata-kata yang disukai Allah. Bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, dan maknanya. Selebihnya terserah Allah, kalau ikhlas walaupun sederhana kata-kata kita, Allah-lah yang Maha Kuasa menghunjamkannya ke dalam setiap kalbu.

Oleh karena itu tidak perlu terjebak oleh rekayasa-rekayasa. Allah samasekali tidak membutuhkan rekayasa karena Dia Maha Tahu segala lintasan hati, Maha Tahu segalanya! Semakin jernih, semakin bening, dan semakin bersih segala apa yang kita lakukan atau semakain seluruh aktivitas ditujukan semata-mata karena Allah, maka kekuatan Allah lah yang akan menolong segalanya.

IKHLAS, RAHASIA PARA KEKASIH ALLAH
Seorang sahabat dengan mimik serius mengajukan sebuah pertanyaan,“Ya kekasih Allah, bantulah aku mengetahui perihal kebodohanku ini. Kiranya engkau dapat menjelaskan kepadaku, apa yang dimaksud ikhlas itu?“

Nabi SAW, kekasih Allah yang paling mulia bersabda,“Berkaitan dengan ikhlas, aku bertanya kepada Jibril a.s.apakah ikhlas itu?Lalu Jibril berkata,“Aku bertanya kepada Tuhan yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah ikhlas itu sebenarnya?“ Allah SWT yang Mahaluas Pengetahuannya menjawab,“Ikhlas adalah suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang Kucintai.“(H.R Al-Qazwini)

Dari hadits diatas nampaklah bahwa rahasia ikhlas itu diketahui oleh hamba-hamba Allah yang dicintai-Nya. Untuk mengetahui rahasia ikhlas kita tidak lain harus menggali hikmah dari kaum arif, salafus shaalih dan para ulama kekasih Allah.

Antara lain Imam Qusyaery dalam kitabnya Risalatul Qusyairiyaah menyebutkan bahwa ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah sebagi satu-satunya sesembahan. Keikhlasan berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari campur tangan sesama makhluk. Dikatakan juga keikhlasan berarti melindungi diri sendiri dari urusan individu manusia.

TANDA-TANDA IKHLAS SEORANG HAMBA
1. Tidak mencari populartias dan tidak menonjolkan diri
2. Tidak rindu pujian dan tidak terkecoh pujian.
Pujian hanyalah sangkaan orang kepada kita, padahal kita sendiri yang tahu keadaan kita yang sebenarnya. Pujian adalah ujian Allah, hampir tidak pernah ada pujian yang sama persis dengan kondisi dan keadaan diri kita yang sebenarnya.
3. Tidak silau dan cinta jabatan
4. Tidak diperbudak imbalan dan balas budi
5. Tidak mudah kecewa.

Seorang hamba Allah yang ikhlas yakin benar bahwa apa yang diniatkan dengan baik lalu terjadi atau tidak yang dia niatkan semuanya pasti telah dilihat dan dinilai oleh Allah SWT. Misal ketika kita menjenguk teman sakit di RS luar kota, ternyata ketika kita sampai yang bersangkutan telah sembuh dan pulang. Tentu sjaa kita tidka harus kecewa karena niat dan perjalan termasuk ongkos dan keletihannya sudah mutlak tercata dan tidak akan disia-siakan Allah.

Seorang hamba yang ikhlas sadar bahwa manusia hanya memiliki kewajiban menyempurnakan niat dan menyempurnakan ikhtiar. Perkara yang terbaik terjadi itu adalah urusan Allah.

Masalah kekecewaan yang wajar adalah jika berhubungan dengan urusan dengan Allah, kecewa ketika ternyata sholatnya tidak khusyu‘, ibadahnya tidak meningkat dsb.nya.

6. Tidak membedakan amal yang besar dan amal yang kecil
7. Tidak fanatis golongan
8. Ridha dan marahnya bukan karena perasaan pribadi
9. Ringan. Lahap dan nikmat dalam beramal
10. Tidak egis karena sellau mementingkan kepentingan bersama.
11. Tidak membeda-bedakan pergaulan.

IKHLASNYA SEORANG MUQARABBIN
Dalam kitab Al Hikan, karya Syeikh Ibnu Atho’ilah tentang kedudukan seorang hamba dalam amal perbuatannya, terdapat dua tingkatan kemuliaan seorang hamba ahli ikhlas, yakni hamba Allah yang abrar dan yang muqarrabin.

Keikhlasan seorang abrar adalah apabila amal perbuatannya telah bersih dari riya‘ baik yang jelas maupun tersamar. Sedangkan tujuan amal perbuatannya selalu hanya pahala yang dijanjikan Allah SWT. Adapun keikhlasan seorang hamba yang muqarrabin adalah ia merasa bahwa semua amal kebaikannya semata-mata karunia Allah kepadanya, sebab Allah yang memberi hidayah dan taufik.

Dengan kata lain, amalan seorang hamba yang abrar dinamakan amalan lillah, yaitu beramal karena Allah. Sedangkan amalan seorang hamba yang muqarrabin dinamakan amalan billah, yaitu beramal dengan bantuan karunia Allah. Amal lillah menghasilkan sekedar memperhatikan hukun dzahir, sedang amal billah menembus ke dalam perasaan kalbu.

Pantaslah seorang ulama ahli hikmah menasihatkan,“Perbaikilah amal perbuatanmu dengan ikhlas, dan perbaikilah keikhlasanmu itu dengan perasaan bahwa tidak ada kekuatan sendiri, bahwa semua kejadian itu hanya semata-mata karena bantuan pertolongan Allah saja.“

Tentulah yang memiliki kekuatan dashyat adalah keikhlasan seorang hamba yang muqarrabin yang senantiasa mendekatkan dirinya kepada Allah Azza wa Jalla

BUBUNG NIZAR - PHOTOGRAPH

oleh : BUBUNG NIZAR






oleh : BUBUNG NIEZAR PAMUNGKAS

PHOTOGRAFI

oleh : BUBUNG NIZAR






OLEH : BUBUNG NIEZAR PAMUNGKAS

Minggu, 11 September 2011

PESANTREN DAN SANTRI

PONDOK PESANTREN, SANTRI DAN ISLAM LIBERAL
DI INDONESIA

oleh : BUBUNG NIZAR

Selama ini, sebagian besar pendidikan di pondok pesantren di Indonesia menampakkan wajah yang terkesan tradisional, klasik serta apa adanya. Namun tidak dipungkiri dengan citra wajah yang muncul seperti itu, justru tidak lapuk dimakan zaman, bahkan ditengah gempuran arus globalisasi yang kian menggila dan hedonisme masyarakat yang kian meningkat, pesantren tetap mampu memikat sebagai komunitas masyarakat untuk tetap dijadikan sebagai tempat menuntut ilmu.

Pondok pesantren merupakan institusi pendidikan agama Islam yang sangat fungsional. Pesantren mampu memberi jawaban terhadap berbagai permasalah yang dihadapi masyarakat serta mampu mempertahankan eksistensi meskipun perubahan zaman berjalan dengan pesat. Bukan hanya itu, sebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi dan kondisi. Penyesuaian diri ini adalah keikutsertaan sepenuhnya dalam arus pengembangan ilmu pengetahuan (modern) dan teknologi.

Pondok pesantren selalu memodernisasi sistem pendidikannya dengan tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja, akan tetapi juga mengajarkan mata pelajaran yang ada dalam sistem pendidikan nasional. Dengan sistem pendidikan seperti ini maka pondok pesantren tidak hanya dapat bertahan, akan tetapi juga berkembang dan tidak pernah tertinggal oleh perkembangan zaman. Maka wajar apabila pesantren mampu mencetak banyak pemikir Islam Indonesia.

Melihat perkembangan zaman yang semakin pesat, maka pesantren segera menyesuaikan diri dengan melakukan proses urbanisasi intelektual. Santri-santri yang tadinya hanya membaca kitab kuning, memakai sarung, peci, kemudian merambah "dunia lain" dengan menjadi seorang pemuda yang membaca kitab putih, memakai jeans dan gaya parlente, menulis menggunakan computer, dan tidur di kantor-kantor yang serba beton. Maka wajar apabila ada yang menyebutnya dengan gejala “santri kota”.

Paham Islam Liberal

Lahirnya pemikiran Islam Liberal di kalangan pemikir dan intelektual Indonesiatidak dapat terlepas dari pengaruh dari para pemikir Barat yang menggagas liberalisasi Islam.Gerakan liberalisasi pemikiran Islam yang akhir-akhir ini semakin marak, sebenarnya lebih berunsur pengaruh eksternal daripada perkembangan alami dari dalam tradisi pemikiran Islam. Pengaruh eksternal itu dengan mudah dapat ditelusur dari trend pemikiran liberal di Barat dan dalam tradisi keagamaan Kristen. Leornard Binder, diantara sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggungjawab mencetuskan pergerakan Islam liberal dan mengorbitkannnya pada era 80-an, telah memerinci agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Dalam buku ini ia menjelaskan premis dan titik tolak perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan di sebar luaskan. Selain rational discourse yang merupakan tonggak utamaya, gerakan ternyata tidak lebih daripada alat untuk mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan liberal. Binder menjelaskan: “ Liberal government is the product of a continuous process of rational discourse…. Political Liberalism in this sense, is indivisible. It will either prevail worldwide, or it will have to be defended by nondiscursive action.

Tema liberalisme Islam yang diangkat Binder merupakan tema yang mengangkat dialog terbuka antara dunia Islam dengan dunia Barat, antara pemikiran Islam dan Pemikiran Barat. Dalam konteks dialog tersebut, yang terjadi bukan hanya menarik akar-akar trend “Liberalisme Islam” sampai ke dunia Barat, melainkan sebagai proses take and give yang saling mengisi dan menangani persoalan-persoalan kemodernan, transformasi sosial, dan tradisi lokal (dalam konteks Binder, tradisi Arab). Maka tokoh-tokoh yang diangkat adalah Ali Abd Roziq, Abdullah Laroi, Thariq al-Bisyri, Muhammad Imarah, Muhammad Arkoun, dan Sumir Amin, yang berdialog secara kritis dengan pemikir liberalisme Barat, sosialisme, mexisme dan dengan postmodernisme.

Pandangan lain tentang paham Islam liberal dikemukakan oleh Charles Kurzman dan Greg Barton, pemerhati Islam Liberal. Islam liberal dalam pandangan mereka mengacu pada “konteks Islami” dari pandangan-pandangan liberal di sebagian kalangan intelektual Muslim. Kurzman tidak melihat Barat sebagai faktor yang mempengaruhi kemunculan trend “liberal” dan tidak juga sebagai mitra dialog yang mempunyai kontribusi dalam kemunculan trend tersebut. Sebagai tolok ukur sebuah pemikiran Islam disebut “liberal”, Kurzman menyebut enam agenda Islam Liberal, yaitu demokrasi sebagai lawan dari paham teokrasi, hak-hak perempuan, kebebasan berpikir, hak-hak non-Muslim dan gagasan kemajuan.

Misi Islam liberal, menurut Kurzman, bertitik tolak pada suatu rasionalitas untuk selalu menjaga kesinambungan syariah Islam dengan tuntutan sejarah. Dengan kerangka seperti ini, perkembangan diseminasi pemikiran Islam yang diproduksi oleh Islam liberal sebenarnya tak perlu dianggap aneh, apalagi dicurigai. Sebab meskipun dalam Islam melekat watak universitas, tetapi pada dataran praktisnya, Islam tetap memerlukan sebuah kerangka pandang, episteme, yang selaras dan senafas dengan semangat zaman.

Pemahaman yang hanya menyandarkan pada teks-teks dengan ketentuan normatif agama dan pada bentuk-bentuk formalisme sejarah Islam paling awal jelas sangat kurang memadai. Dan di kalangan sebagian besar umat Islam, pola semacam inilah yang berkembang dengan sangat subur. Jika ini terus-menerus dipertahankan, Islam akan membayarnya dengan harga yang sangat mahal, karena dengan pola pikir seperti ini, Islam akan menjadi agama yang historis dan eksklusif. Inilah yang menjadi keprihatinan Islam liberal.



Sikap Kaum Santri

Ketika ada wacana Islam liberal, pondok pesantren juga tidak mau tinggal diam, para santri menggeluti pemikiran Islam kontemporer yang kekiri-kirian. Mereka juga mulai merambah dan menekuni teori-teori sosial. Bahkan santri-santri atau mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan pesantren tampak mempunyai pandangan keislaman yang cukup berani jika dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah belajar di pesantren. Hal ini tidak terlepas dari peran civitas akademika pesantren yang mulai membuka diri dengan mengenal literatur-literatur tentang wacana Islam kontemporer seperti, Syed Hussein Nashr, Fazlurrahman, Hasan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zaid dan intelektual Islam kontemporer lainnya. Bahkam kalau kita telusuri lebih jauh, mayoritas petinggi kelompok liberal di Indonesia merupakan alumni pondok pesantren. Tokoh liberal seperti KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid adalah santri pondok.

Akhir-akhir ini muncul Jaringan Islam Liberal. Kelompok kajian sosial-keagamaan yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. "Liberal" di sini bermakna dua: kebebasan dan pembebasan. Mereka percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Kelompok ini memilih satu jenis tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu "liberal". Lagi-lagi yang menjadi petinggi dan tokoh penting kelompok liberal ini adalah kaum santri yang pernah mengenyam pendidikan pesantren. Sekedar contoh adalah Ulil Abshar Abdalla, penggagas dan sekaligus kordinator JIL, Abd. Moqsith Ghazali, Luthfi As-Syaukanie, Taufik Adnan Amal, Hamid Basyaib dan sebagainya, merupakan kaum santri yang sudah bergaul dengan dunia liberal.

Kehadiran kaum santri di pentas pemikiran liberal tidak serta merta direstui atau didukung oleh para Kiyai. KH Mas Subadar yang merupakan sesepuh NU mendesak agar pengikut Jaringan Islam Liberal (JIL) yang masuk dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama di pusat maupun daerah dibersihkan. Permintaan Subadar itu disampaikan saat menghadiri acara Halal Bi Halal dan Koordinasi PWNU dan Cabang NU se Jatim di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Selasa (23/11/2004). Hadir dalam acara itu antara lain Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi, KH Masduki Mahfud (Rois Syuriah PWNU Jatim). Alasan Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Pasuruan ini pemikiran JIL tidak cocok dengan pemikiran NU. Bahkan Kiai Subadar menuduh JIL telah melanggar Qonun Asas NU (landasan dasar NU), yakni pidato penting Rois Akbar KH Hasyim As'ary pada Muktamar NU ke III 1928 di Surabaya dan Muktamar ke IV 1929 di Semarang.

NU yang nota bene lembaga kaum santri juga tidak sepenuhnya setuju dengan pemikiran liberal. Konferensi Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Miftahul Ulum "AL-YASINI" Areng-areng Pasuruan pada tanggal 11-13 oktober 2002 mengeluarkan taushiyah atau rekomendasi yang intinya menolak pemikiran-pemikiran JIL. Di antara isi rekomendasi tersebut antara lain berbunyi: ”Kapasitas institusi PWNU Jatim agar segera menginstruksikan kepada warga NU agar mewaspadai dan mencegah pemikiran 'Islam Liberal' dalam masyarakat. Apabila pemikiran 'Islam Liberal' tersebut dimunculkan oleh pengurus NU (di semua tingkatan) diharap ada sanksi baik berupa teguran keras (istiabah) maupun sanksi organisasi (sekalipun harus dianulir dari kepengurusan NU)".

Melihat gambaran di atas, kita bisa simpulkan bahwa sikap kaum santri terhadap paham Islam liberal terbagi menjadi dua; yang pertama menolak dengan alasan tidak sesuai dengan tradisi pesantren dan bisa mengaburkan eksistensi ajaran Islam. Dan yang kedua menerima dengan alasan pemikiran-pemikiran Islam liberal merupakan sentuhan-sentuhan epistem dalam mengarungi perubahan global. Dengan demikian Islam tetap akan mampu dan dapat memberikan kontribusi bagi kemanusiaan.

Dari sini kita dapat melihat bahwa pendidikan pondok pesantren cukup terbuka dan tidak monoton atau kolot. Pesantren dapat menyesuaikan dan sekaligus membawa dirinya dalam segala situasi dan kondisi. Namun demikian perubahan zaman tidak dapat memudarkan eksistensi dan bahkan dijadikan momen untuk mengembangkan pola pendidikan, sehingga melahirkan pemikir-pemikir Islam yang siap terjun di masyarakat dalam kondisi dan situasi apapun. Mereka diberi pelajaran untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara-cara yang elegan dan beradab, karena di pesantren selalu diajarkan membangun kesolehan spiritual yang harus ditransformasikan dalam masyarakat atau kesolehan sosial.

Sabtu, 10 September 2011

SMASTA

oleh : BUBUNG NIZAR






oleh : BUBUNG NIZAR PAMUNGKAS

PHOTOGRAFI

oleh : BUBUNG NIZAR






oleh : BUBUNG NIZAR PAMUNGKAS
____