Sabtu, 02 Januari 2010

PLS

PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
T E O R I P E M B E L A J A R A N
oleh : DAIS NURWAHIDAH


PEMBAHASAN

A. Teori-Teori Pembelajaran
1. Teori Koneksionisme
Teori ini dipelipori oleh Thorndike dan di kembangkan oleh pakar-pakar yang lain. Teori koneksionisme menjelaskan bahwa belajar baik pada hewan mupun manusia, berlangsung menurut prinsip yang sama yaitu melalui proses asosiasi antara kesan panca indera dengan tindakan. Proses belajar berlangsung menurut hukum kesiapan, hukum latihan dan hukum efek. Hukum kesiapan menjelaskan bahwa kegiatan belajar dapat berlangsung secara efektif dan efisien apabila warga belajar telah memilki kesiapan belajar. Hukum ini menjelaskan bahwa materi belajar hekdaknya sesuai dengan kebutuhan belajar dan cara-cara belajar yang dimilki warga belajar sehingga belajar dapat menimbulkan kepuasaan pada dirinya. Hukum latihan menyatakan bahwa koneksi antara kondisi dan tindakan dalam belajar akan menjadi kuat karena latihan (law of use). Sebaliknya, koneksi dan tindakan itu akan menjadi lemah apabila tanpa latihan (law of disuse). Hukum ini memberikan pembenaran mengenai pentingnya warga belajar untuk selalu mengulangi materi yang dipelajari. Hukum efek menyatakan bahwa kegiatan belajar yang memberikan hasil yang menyenangkan warga belajar seperti pujian dan hadiah, cenderung akan diulangi dan dikembangkan oleh warga belajar. Sebaliknya kegiatan belajar yang memberikan hasil yang tidak menyenangakan, seperti celaan dan hukuman, cenderung akan dihentikan atau dihindari. Dengan demikian kesiapan, latihan dan pengaruh merupakan hukum-hukum yang harus diperhatikan dalam kegiatan pembelajaran.
2. Teori Conditioning
Mula-mula teori ini dipelopori oleh Ivan Pavlop (1927), kemudian oleh Watson (1970). Percobaan Pavlop terhadap anjingnya itu, menyimpulkan bahwa belajar itu dilakukan dengan mengasosiasikan ganjaran dengan rangsangan sebelumnya. Perangsang bersyarat dan tak bersyarat merupakan pengkondisian (conditioning) proses pembentukan perilaku. Watson mengemukakan teori ini melalui percobaan tentang gejala takut pada anak, dengan menggunakan tikus putih. Menurut teori ini, belajar adalah suatu proses yang disebabkan oleh adanya syarat tertentu berupa rangsangan. Pengkondisian (conditioning) dalam bentuk rangsangan dan pembiasaan mereaksi terhadap perangsang tertentu menimbulkan proses belajar.
Skinner mengembangkan teori operant conditioning melalui percobaan terhadap burung dan kotak yang dilengkapi pengungkit. Apabila pengungkit itu kena tekanan maka ia dapat mengeluarkan makanan. Ada dua macam respon dalam hal ini, yaitu yang timbul dari perangsang tertentu (makanan menimbulkan air liur), dan operant respon yang timbul dan berkembang karena perangsang tertentu tadi diikuti perangsang lainnya (reinforcing stimuli). Perilaku yang terbentuk karena operant respon itu di sebut operant behavior. Guthrie memanfaatkan teori conditioning dalam menemukan cara mengubah kebiasaan kurang baik. Tingkah laku manusia merupakan rangkaian unit tingkah laku, yang saling memberikan respon terhadap rangsangan yang timbul dari masing-masing unit tingkah laku itu. Dalam proses conditioning terjadi proses asosiasi antara unit-unit tingkah laku yang berurutan. Melalui latihan berulang-ulang maka terjadilah penguatan proses asosiasi.
3. Teori Gestalt
Istilah Gestalt berarti bentuk (shape). Menurut Wertheimer (1945) warga belajar tidak menangkap bagian-bagian gejala, melainkan menerimanya secara keseluruhan. Misalnya, dalam mengamati sepeda motor, warga belajar bukan menangkap bagian-bagiannya, seperti rangkanya, rodanya dan lampunya, melainkan keseluruhan sepeda motor itu.
Penelitian Max Wertheimer hukum Pragmanz, hukum kesamaan, hukum keterdekatan, hukum kontinuasi dan hukum ketertutupan. Menurut hukum Pragmanz, pengamatan terhadap suatu objek akan dikaitkan dengan sesuatu yang berarti baik dari segi susunan, bentuk, ukuran ataupun warna. Misalnya orang yang bentuk tubuhnya tinggi, kekar dan lincah dipandang sebagai olahragawan. Buah yang warnanya hijau dianggap masam rasanya. Menurut hukum kesamaan (law of similarity) orang cenderung mengelompokan gejala berdasarkan kesamaan dibanding dengan perbedaan. Menurut hukum keterdekatan (law of proximity), warga belajar cenderung mengelompokan gejala menurut keterdekatan antara yang satu dengan yang lainnya, bukan dari yang saling berjauhan. Menurut hukum kontinuitas (law of continuation), objek biasanya di amati dengan pola atau bentuk dalam totalitas. Sedangkan menurut hukum ketertutupan (law of closure), dalam pengamatan itu terdapat kecenderungan untuk melengkapi yang kurang sehingga keseluruhannya di tanggapi secara utuh. Menurut teori Gestalt, inti belajar adalah wawasan (insight). Dalam wawasan tersebut, kelima hukum tersebut saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.
4. Teori Medan
Teori Medan dikembangkan oleh Kurt Lewin dengan formula B = F (P,E). Artinya, perilaku (behavior) sebagai perolehan belajar adalah fungsi individu (person) dan lingkungan (environment). Hasil belajar dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Untuk menganalisis lingkungan yang mempengaruhi tingkah laku manusia, Lewin (1951) mengembangkan teknik analisis wilayah kekuatan (force field analysis) guna mendiagnosis situasi dengan mengamati variabel-variabel yang mempengaruhi perubahan tingkah laku manusia. Ia mengemukakan bahwa di dalam setiap situasi terdapat kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan penghambat (restraining forces) yang mempengaruhi tingkah laku.
Apabila seseorang telah termotivasi untuk berubah maka sebenarnya ia cenderung untuk menerima pol-pola tingkah laku baru.

B. Prinsip-Prinsip Pembelajaran
1. Konsep J. Piaget
J. Piaget mengidentifikasi 4 tahap perkembangan kognitif pada individu yaitu tahap (a) sensori-motor (b) pra-operasional (c) operasional konkrit (d) tahap operasi formal atau proporsional.
Identifikasi tahap-tahap perkembangan kognitif oleh J. Piaget mempunyai implikasi praktis terhadap prooses belajar dalam PLS, yaitu (a) bahan dan pengalaman belajar harus disajikan dalam bentuk yang konkrit dan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (b) mengutamakan pemberian kesempatan kepada warga belajar secara aktif dan partisipatif di dalam dan terhadap lingkungannya.
2. Konsep Aliran Tingkah Laku
Aliran tingkah laku memandang belajar sebagai suatu pola hubungan stimulus dan respons (S-R). Menurut Throndike, belajar merupakan tindakan “mencoba dan salah” (trial and error learning).
3. Konsep Aliran Humanis
Konsep humanisme menekankan pada objek kognitif dan afektif individu serta kondisi lingkungan. Konsepsi humanisme menggambarkan bahwa warga belajar merupakan pelaku aktif dalam merumuskan strategi transaksional denagn lingkungannya. Rogger telah melakukan percobaan belajar non-direktif dengan menggunakan prinsip “self-determination” dan “self- direction” dengan pendekatan learner centered. Belajar memberikan kebebasan yang luas kepada warga belajar, untuk menentukan apa yang ingin mereka pelajari sesuai dengan sumber-sumber belajar dan bahwa belajar yang tersedia atau yang dapat disediakan. Kegiatan belajar yang berpusat pada warga belajar dilakukan dengan memberikan kebebasan yang lebih luas kepada mereka dalam memilih dan memutuskan apa yang ingin dipelajari, bagaimana mempelajarinya, dan dimana mereka akan belajar.
4. Teori Andragogi
Istilah “Andragogi” berasal dari “andr” dan “agogos”. Dalam bahasa Yunani, “andr” berarti orang dewasa dan “agogos” berarti memimpin/membimbing. Knowles (1980) telah mendefinisikan “Andragogi” sebagai seni dan ilmu dalam membantu warga belajar, (orang dewasa) untuk belajar.
Andragogi adalah suatu model proses pembelajara peserta didik (warga belajar) dewasa. Andragogi di sebut juga sebagai teknologi pelibatan orang dewasa dalam kegiatan belajar. Proses pembelajaran dapat terjadi dengan baik apabila metode dan teknik pembelajaran melibatkan warga belajar. Keterlibatan ego warga belajar adalah kunci keberhasilan pendidikan orang dewasa. Untuk itu sumber belajar hendaknya mampu membantu warga belajar untuk : (a) mengidentifikasi kebutuhan, (b) merumuskan tujuan belajar, (c) ikut serta memikul tanggung jawab dalam perencanaan dan penyusunan pengalaman belajar, dan (d) ikut serta dalam mengevaluasi kegiatan belajar (Srinivasan, 1979). Dengan demikian setiap sumber belajar harus melibatkan peserta didik sebanyak mungkin dalam kegiatan belajar membelajarkan.
5. Aliran Reformasi Sosial
Illich dan Freire (1973) merupakan pelopor aliran ini. Mereka mengkritik gaya pendidikan sekolah dari sudut yang berbeda, namun berangkat dari kepentingan yang sama. Mereka menjungjung tinggi harkat manusia secara individual dan berhasrat membebaskan manusia dari lingkungan yang mengeksploitasinya. Illich mengharapkan suatu revolusi kebudayaan karena ia yakin bahwa perbaikan sistem sekolah tidak akan menghasilkan generasi masyarakat sebagaimana diharapkan. Freire memandang ketidakselarasan kehidupan sosial terjadi bersumber dari kebodohan, ketidakpedulian, dan penindasan antar golongan dalam masyarakat. Struktur masyarakat tidak mendorong yang miskin untuk mengetahui dan merespon terhadap realitas dunianya. Mereka ini tetap tertindas, tertekan, dan terperangkap dalam situasi “kebudayaan diam”. Freire memandang sekolah sebagai alat utama dalam mempertahankan “kebudayaan diam” karena sekolah gagal mendorong siswa untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaannya.

C. Beberapa Pendekatan Dalam Belajar
1. Pendekatan Pembelajaran Dari Sarinivasan
Srinivasan memusatkan perhatian pada masalah kegiatan belajar membelajarkan, karena kegiatan ini dipandang sebagai salah satu penyebab utama terjadinya kondisi warga belajar sebagaimana dikemukakan di atas. Ia mengajukan tiga macam pembelajaran untuk mengatasi kondisi tersebut, yaitu: (a) pendekatan yang berpusat pada masalah; (b) pendekatan proyektif; dan (c) pendekatan aktualisasi diri. Ketiga pendekatan ini dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pendidikan, Yaitu: (a) kebutuhan untuk memperkuat kemampuan warga belajar dalam upaya pemecahan masalah, (b) kebutuhan untuk melengkapi warga belajar dengan berbagai keterampilan untuk menghadapi lingkungan yang lebih baik. Dan (c) kebutuhan untuk mengembangkan potensi warga belajar dan memperkuat kesadaran diri secara positif.
2. Pendekatan Perubahan Sikap Dari Bandura
Sejak lama sikap dan perubahannya telah menarik perhatian para pakar psikolgi dan pendidikan. Dengan memperhatikan komponen sikap dan berbagai hasil dari penelitian tadi, Albert bandura (1969) mengemukakan strategi perubahan sikap dengan menggunakan tiga macam pendekatan, yaitu : (a) pendekatan yang berorientasi pada keyakinan (belief oriented approach); (b) pendekatan yang berorientasi pada perasaan (affection oriented approach); dan (c) pendekatan yang berorientasi pada perilaku (behavior oriented approach).
3. Proses Empowering Dari Suzanne Kindevatter
Dalam upaya meningkatkan kesadaran dan kemampuan terhadap dunia kehidupan warga belajar, sesuai dengan pendidikan penyadarannya Freire, Suzanne Kindevatter mengemukakan konsep Empowering process. Konsep ini bermakna bahwa “people gaining and understanding of and control over social, economic, and all political forces in order to improve their standing in society”. Berdasarkan pengertian ini bahwa proses pemberian kekuatan atau daya adalah setiap upaya pendidikan yang bertujuan membangkitkan kesadaran, pengertian, dan kepekaan warga belajar terhadap perkembangan sosial, ekonomi dan politik, sehingga pada akhirnya ia memiliki kemampuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kedudukannya dalam masyarkat.
Berdasarkan kedelapan pokok tersebut di atas, hasil studi kasus di Indonesia dan Thailand, (Suzanne Kindevatter, 1979) mengemukakan bahwa :
a. Kelompok kecil dapat di bentuk berdasarkan kesamaan umur atau usia campuran yang dilakukan sejak awal pembentukan kelompok. Pemberian kekuatan (empowering) menekankan pada pentingnya kesamaan langkah dalam kelompok untuk mengembangkan kegiatan.
b. Pemberian tanggung jawab kepada para warga belajar dapat terjadi apabila program kegiatan belajar itu dirasakan sebagai program yang disusun oleh warga belajar. Oleh karena itu warga belajar hendaknya dilibatkan secara aktif sejak awal perencanaan program kegiatan belajar.
c. Kepemimpinan kelompok yang dipegang oleh warga belajar membutuhkan kejelian sumber belajar dalam membantu penentuan orang-orang yang cocok untuk itu. Warga belajar yang aktif dapat dipromosikan untuk menjadi pimpinan kelompok.
d. Sumber belajar diseleksi dan dilatih secara tepat. Sumber belajar mempunyai sikap dan perilaku yang dapat diterima oleh warga belajar karena sumber belajar sangat mempengaruhi sikap dan perilaku warga belajar.
e. Proses yang demokratis saling hubungan, dan proses dan interaksi sejajar yang muncul dari berbagai pengalaman praktis, memerlukan dukungan dari para perencana dan pengambil kebijakan pendidikan luar sekolah.
f. Kesamaan pandangan dan langkah kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu dapat ditumbuhkan dengan mengungkap masalah-masalah aktual dan kebutuhan yang dirasakan oleh warga belajar. Dalam empowering, proses ini maka analisis masalah dipandang sangat penting. Dalam analisis ini diperlukan sumber belajar yang terlatih dalam mengungkap masalah dan kebutuhan yang dirasakan warga belajar dalam kehidupannya.
g. Metode yang digunakan dalam pembelajaran untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada warga belajar adalah fleksibel, tidak kaku. Metode dapat berubah sesuai dengan masalah dan kebutuhan yang dihadapi. Kemampuan untuk membangkitkan rasa percaya diri merupakan keterampilan proses (process skill) keterampilan ini mencakup upaya memperoleh informasi, menggunakan ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
h. Peningkatan status sosial, ekonomi,dan atau politik merupakan tujuan jangka panjang proses empowering. Indikator peningkatan status itu perlu dirumuskan dengan mempartisipasikan warga belajar.
Kesimpulan di atas mengungkapkan bahwa pendidikan luar sekolah sebagai proses empowering adalah suatu pendekatan pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan pengertian dan pengendalian warga belajar terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan politik sehingga warga belajar mampu untuk meningkatkan taraf hidupnya dalam masyarakat. Untuk itu proses yang perlu di tempuh warga belajar adalah : (1) melatih tingkat kepekaan yang tinggi terhadap berbagai aspek perkembangan sosial, ekonomi dan politik selama proses pembelajaran, (2) mempelajari berbagai macam keterampilan untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah yang dihadapi, dan (3) bekerja sama dalam memecahkan masalah yang dihadapi bersama untuk menerapkan prinsip-prinsip yang telah dikemukakan dia atas maka perlu difahami kegiatan pembelajaran sebagaimana di uraikan pada BAB selanjutnya.


KESIMPULAN

Teori koneksionisme menjelaskan bahwa belajar baik pada hewan mupun manusia, berlangsung menurut prinsip yang sama yaitu melalui proses asosiasi antara kesan panca indera dengan tindakan.
Teori Conditioning menyimpulkan bahwa belajar itu dilakukan dengan mengasosiasikan ganjaran dengan rangsangan sebelumnya. Dalam proses conditioning terjadi proses asosiasi antara unit-unit tingkah laku yang berurutan. Melalui latihan berulang-ulang maka terjadilah penguatan proses asosiasi. Menurut teori Gestalt, inti belajar adalah wawasan (insight).
Teori Medan mengemukakan bahwa di dalam setiap situasi terdapat kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan penghambat (restraining forces) yang mempengaruhi tingkah laku. Apabila seseorang telah termotivasi untuk berubah maka sebenarnya ia cenderung untuk menerima pol-pola tingkah laku baru.
Prinsip belajar pada umumnya adalah proses upaya modofikasi tingkah laku sebagai perolehan suatu aktifitas dengan berbagai macam pendekatan


DAFTAR PUSTAKA


 Daradzat, Zakiyah, ilmu jiwa agama, 1970, Bulan Bintang; Jakarta.
 Uhbiyati, Nur, ilmu pendidikan islam (IPI), 1997,Pustaka Setia; Bandung
 Taqiyyudin, pendidikan untuk semua (dasar-dasar dad falsafah pendidikan luar sekolah), 2008, Mulia Press; Bandung.
 Sudjana H. D, Strategi pembelajaran dalam PLS, 1993, Nusantara Press; Bandung.

Tidak ada komentar: