Jumat, 09 April 2010

ILMU, FILSAFAT, AGAMA


oleh :
BUBUNG NIZAR PAMUNGKAS


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kesungguhan dalam menemukan sesuatu kebenaran melahirkan keyakinan tersendiri. Tetapi disini harus saling melengkapi artinya untuk menemukan sesuatu yang benar-benar sesungguhnya dilihat dari berbagai sisi maksudnya dari mulai akal, serta wahyu.
Hal ini terutama ilmuselalu exis bahkan merupakan salh satu alat untuk pencarian pengetahuan atau sesuatu. Begitu juga filsapat yang has dalam pencarian hakikat sesuatu. Hanya juga agama dijadikan modal sekaligus pondamentalis dalam mendapatkan kebenaran.

1.2. Rumusan Masalah
1. Definisi Ilmu
2. Definisi Filsapat
3. Definisi Agama
4. Hubungan Ilmu, Filsapat dan Agama
1.3. Tujuan
Agar bisa menemukan sesuatu yang sebenarnya dilihat dari berbagai bentuk ilmu, filsapa dan agama.


BAB II
PEMBAHASAN


1. DEFINISI ILMU
Definisi ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum sebab-akibat dalam suatu golongan masalah yang sama sifatnya, baik menurut kedudukannya (apabila dilihat dari luar), maupun menurut hubungannya (jika dilihat dari dalam). Mohammad Hatta-- Definisi ilmu dapat dimaknai sebagai akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan. Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris.Ilmu dapat diamati panca indera manusia.Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada para ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk: "jika,...maka..."
Definisi ilmu bergantung pada cara kerja indera-indera masing-masing individu dalam menyerap pengetahuan dan juga cara berpikir setiap individu dalam memroses pengetahuan yang diperolehnya. Selain itu juga, definisi ilmu bisa berlandaskan aktivitas yang dilakukan ilmu itu sendiri. Kita dapat melihat hal itu melalui metode yang digunakannya.

Sifat-sifat ilmu
Dari definisi yang diungkapkan Mohammad Hatta dan Harjono di atas, kita dapat melihat bahwa sifat-sifat ilmu merupakan kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu yang...
Berdiri secara satu kesatuan,
Tersusun secara sistematis,
Ada dasar pembenarannya (ada penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan disertai sebab-sebabnya yang meliputi fakta dan data),
Mendapat legalitas bahwa ilmu tersebut hasil pengkajian atau riset.
Communicable, ilmu dapat ditransfer kepada orang lain sehingga dapat dimengerti dan dipahami maknanya.
Universal, ilmu tidak terbatas ruang dan waktu sehingga dapat berlaku di mana saja dan kapan saja di seluruh alam semesta ini.
Berkembang, ilmu sebaiknya mampu mendorong pengetahuan-pengatahuan dan penemuan-penemuan baru. Sehingga, manusia mampu menciptakan pemikiran-pemikiran yang lebih berkembang dari sebelumnya.
Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa tidak semua pengetahuan dikategorikan ilmu. Sebab, definisi pengetahuan itu sendiri sebagai berikut: Segala sesuatu yang datang sebagai hasil dari aktivitas panca indera untuk mengetahui, yaitu terungkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya, sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh, luas, dan dalam dari pengetahuan.

Mengapa ilmu hadir?
Pada hakekatnya, manusia memiliki keingintahuan pada setiap hal yang ada maupun yang sedang terjadi di sekitarnya. Sebab, banyak sekali sisi-sisi kehidupan yang menjadi pertanyaan dalam dirinya. Oleh sebab itulah, timbul pengetahuan (yang suatu saat) setelah melalui beberapa proses beranjak menjadi ilmu.

Bagaimanakah manusia mendapatkan ilmu?
Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sempurna, yaitu dilengkapi dengan seperangkat akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah, manusia mendapatkan ilmu, seperti ilmu pengetahuan sosial, ilmu pertanian, ilmu pendidikan, ilmu kesehatan, dan lain-lain. Akal dan pikiran memroses setiap pengetahuan yang diserap oleh indera-indera yang dimiliki manusia.

Dengan apa manusia memperoleh, memelihara, dan meningkatkan ilmu?
Pengetahuan kaidah berpikir atau logika merupakan sarana untuk memperoleh, memelihara, dan meningkatkan ilmu. Jadi, ilmu tidak hanya diam di satu tempat atau di satu keadaan. Ilmu pun dapat berkembang sesuai dengan perkembangan cara berpikir manusia.

2. DEFINISI FILSAPAT
Menurut Ahmad Sadali dan Mudzakir Filsapat adalah pengetahhuan tentang sesuatu yang non-empirik dan non-eksperimental diperoleh manusia dengan usaha melalui pikiran yang mendalam.
Poedja wijatma (1974:11) mendefinisikan dilsapat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka.
Hasbullah Bakri (1971:11) mendefinisikan bahwa filsapat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli. Aristoteles mendefinisikan fislapat sebagai pengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung didalam metadisika, logika, retorika, ekonomi, politik serta estetika. Bagi Alfarabi Filsapat ialah pengetahuan tentang alam wujud bagaimana hakikat yang sebenarnya. Imanuel kant mendefinisikan Filsapat sebagai pengetahuan yang menjadi pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup meliputi :
- Apa yang dapat diketahui? (jawabannya metafisika)
- Apa yang seharusnya diketahui? (jawabannya etika)
- Sampai dimana harapan kita ? (jawabannya Agama)
- Apa itu manusia ? (jawabannya antropologi)

3. DEFINISI AGAMA
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.


Beberapa pendapat
Dalam bahasa Sansekerta Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "tradisi".Dalam bahasa Sansekerta artinya tidak bergerak (Arthut Mac Donnell).
Agama itu kata bahasa Sansekerta (yaitu bahasa agama Brahma pertama yang berkitab Veda) ialah peraturan menurut konsep Veda (Dr. Muhammad Ghalib).
Dalam bahasa Latin Agama itu hubungan antara manusia dengan manusia super (Servius)
Agama itu pengakuan dan pemuliaan kepada Tuhan (J. Kramers Jz)
Dalam bahasa Eropa Agama itu sesuatu yang tidak dapat dicapai hanya dengan tenaga akal dan pendidikan saja (Mc. Muller dan Herbert Spencer)
A.S. Hornby, E.V Gatenby dan Wakefield mengomentari bahwa Agama itu kepercayaan kepada adanya kekuasan mengatur yang bersifat luar biasa, yang pencipta dan pengendali dunia, serta yang telah memberikan kodrat ruhani kepada manusia yang berkelanjutan sampai sesudah manusia mati
Dalam bahasa Indonesia
Drs. Sidi Gazalba menyatakan bahwa Agama itu hubungan manusia Yang Maha Suci yang dinyatakan dalam bentuk suci pula dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.
Agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997)
Dalam bahasa Arab Agama dalam bahasa arab ialah din, yang artinya :
• taat
• takut dan setia
• paksaan
• tekanan
• penghambaan
• perendahan diri
• pemerintahan
• kekuasaan
• siasat
• balasan
• adat
• pengalaman hidup
• perhitungan amal
• hujan yang tidak tetap turunnya
Sinonim kata din dalam bahasa arab ialah milah. Bedanya, milah lebih memberikan titik berat pada ketetapan, aturan, hukum, tata tertib, atau doktrin dari din itu.
Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dll.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri , yaitu :
• menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan
• menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan
Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.


Cara Beragama
Berdasarkan cara beragamanya :
1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya.
2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.


4. HUBUNGAN ANTARA ILMU, FILSAFAT, AGAMA
Ilmu, filsapat serta agama mempunyai hubungan yang kuat terkait pada manusia, karena ke tiga tersebut adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan pada manusia, yakni ketiga tersebut ada potensinya pada manusia yaitu, akal, rasa dan keyakinan. Sehingga dengan ketiga tersebut manusia dapat merasakan dan meraih sesuatu ykepuasan dari hidupnya yakni kebahagiaan dan tujuannya.
Ilmu mendasar pada akal, filsapat mendasar pada otoritas akal murni secara radikal pada kenyataan dan agama mendasar pada wahyu.
Prof. Nasroen, S.H., menerangkan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasar pada agama karena filsapat terkandung dalam agama. Bila filsafat tidak terkandung pada agama maka filsapat itu akan memuat kebenaran objektif karena segala sesuatunya dengan pikiran akal. Sedangkan kemampuan akal itu terbatas, dan tidak mungkin untuk menerima pada hal-hal yang gaib.
Sebagaian ada yang menyatakan bahwa hubungan Ilmu, Filsapat dan Agama adalah:
a. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Ilmu Sejarah telah dapat membuktikan tentang pengungkapan ilmiah manusia yang sangat menonjol di dunia adalah di zaman Yunani Kuno (abad IV dan V S.M). Bangsa Yunani ditakdirkan Allah sebagai manusia yang mempunyai akal jernih. Bagi mereka ilmu itu adalah suatu keterangan rasional tentang sebab-musabab dari segala sesuatu didunia ini. Dunia adalah kosmos yang teratur dengan aturan kausalitas yang bersifat rasional. Demikianlah tiga dasar yang menguasai ilmu orang Yunani pada waktu itu, yaitu: Kosmos, Kausalitas dan Rasional.
Pada hakikatnya kelahiran cara berfikir ilmiah itu merupakan suatu revolusi besar dalam dunia ilmu pengetahuan, karena sebelum itu manusia lebih banyak berpikir menurut gagasan-gagasan magi dan mitologi yang bersifat gaib dan tidak rasional.
Dengan berilmu dan berfilsafat manusia ingin mencari hakikat kebenaran daripada segala sesuatu Dalam berkelana mencari pengetahuan dan kebenaran itu menusia pada akhirnya tiba pada kebenaran yang absolut atau yang mutlak yaitu ‘Causa Prima’ daripada segala yang ada yaitu Allah Maha Pencipta, Maha Besar, dan mengetahui.
Oleh karena itu kita setuju apabila disebutkan bahwa manusia itu adalah mahluk pencari kebenaran. Di dalam mencari kebenaran itu manusia selalu bertanya.
Dalam kenyataannya makin banyak manusia makin banyaklah pertanyaan yang timbul. Manusia ingin mengetahui perihal sangkanparannya, asal mula dan tujuannya, perihal kebebasannya dan kemungkinan-kemungkinannya. Dengan sikap yang demikian itu manusia sudah menghasilkan pengetahuan yang luas sekali yang secara sistematis dan metodis telah dikelompokan kedalam berbagai disiplin keilmuwan. Namun demikian karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka sejumlah besar pertanyaan tetap relevan dan aktual seperti yang muncul pada ribuan tahun yang lalu, yang tidak terjawab oleh Ilmu pengetahuan seperti antara lain: tentang asal mula dan tujuan manusia, tentang hidup dan mati, tentang hakikat manusia sebagainya. Ketidakmampuan Ilmu pengetahuan dalam menjawab sejumlah pertanyaan itu, maka Filasafat tempat menampung dan mengelolahnya. Filsafat adalah ilmu yang tanpa batas, tidak hanya menyelidiki salah satu bagian dari kenyataan saja, tetapi segala apa yang menarik perhatian manusia.
b. Definisi Ilmu Pengetahuan dan Filsafat. Arthur Thompson dalam bukunya” An Introducation to Science” menuliskan bahwa ilmu adalah diskripsi total dan konsisten dari fakta-fakta empiri yang dirumuskan secara bertanggung jawab dalam istilah- istilah yang sederhana mungkin. Untuk menjelaskan perbedaan antara Ilmu Pengetahuan dan Filsafat, baiklah dikemukakan rumusan Filsafat dari filsuf ulung Indonesia Prof. DR. N. Driyarkara S.Y., yang mengatakan “Filsafat adalah pikiran manusia yang radikal, artinya yang dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapat- pendapat yang diterima saja, mencoba memperlihatkan pandangan yang merupakan akar dari lain-lain pandangan dan sikap praktis. Jika filsafat misalnya bicara tentang masyarakat, hukum, sisiologi, kesusilaan dan sebagainya, di satu pandangan tidak diarahkan ke sebab-sebab yang terdekat, melainkan ‘ke’mengapa’ yang terakhir sepanjang kemungkinan yang ada pada budi manusia berdasarkan kekuatannya itu. “Filsafat adalah ilmu Pengetahuan dan Teknologi, filsafat tidak memperlihatkan banyak kemajuan dalam bidang penyelidikan. Ilmu pengetahuan dan Teknologi bahkan melambung tinggi mencapai era nuklir dan sudah diambang kemajuan dalam mempengaruhui penciptaan dan reproduksi manusia itu sendiri dengan revolusi genitika yang bermuara pada bayi tabung I di Inggris serta diambang kelahiran kurang lebih 100 bayi tabung yang sudah hamil tua. Di satu pihak fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, berupa penciptaan sarana yang memudahkan pemenuhan kebutuhan manusia untuk hidup sesuai dengan kodratnya. Inilah dampak positifnya disatu pihak sedangkan dipihak lainnya bdampak negatifnya sangat menyedihkan. Bahwa ilmu yang bertujuan menguasai alam, sering melupakan faktor eksitensi manusia, sebagai bagian daripada alam, yang merupakan tujuan pengembangan ilmu itu sendiri kepada siapa manfaat dan kegunaannya dipersembahkan. Kemajuan ilmu teknologi bukan lagi meningkatkan martabat manusia itu, tetapi bahkn harus dibayar dengan kebahagiaannya. Berbagai polusi dan dekadensi dialami peradaban manusia disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Dalam usahanya pendidikan keilmuwan bukanlah semata-mata ditujukan untuk menghasilkan ilmuwan yang pandai dan trampil, tetapi juga bermoral tinggi.
c. Abstraksi
Untuk menerangkan selanjutnya hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan, baiklah dikemukakan pendapat Aristoteles tentang abstraksi. Menurut beliau pemekiran manusia melampaui 3 jenis abstraksi (kata Latin ‘abstrahere’ yang berarti menjauhkan diri)
Percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara mengelanakan atau mengembarakan akal budi secara redikal (mengakar), dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam),tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali ikatan tangannya sendiri yang disebut ’logika’ Manusia dalam mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan pelbagi masalah asasi dari suatu kepada kitab Suci, kondifikasi Firman Allah untuk manusia di permukaan planet bumi ini. Kebenaran ilmu pengetahuan ialah kebenaran positif, kebenaran filsafat ialah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiri, riset, eksperimen). Kebenaran ilmu pengetahuan dan filsafat keduanya nisbi (relatif). Dengan demikian terungkaplah bahwa manusia adalah mahluk pencari kebenaran. Di dalam mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran itu terdapat tiga buah jalan yang ditempuh manusia yang sekaligus merupakan institut kebenaran yaitu : Ilmu, filsafat dan Agama


BAB III
KESIMPULAN


Ilmu, filsapat serta agama mempunyai hubungan yang kuat terkait pada manusia, karena ke tiga tersebut adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan pada manusia, yakni ketiga tersebut ada potensinya pada manusia yaitu, akal, rasa dan keyakinan. Sehingga dengan ketiga tersebut manusia dapat merasakan dan meraih sesuatu ykepuasan dari hidupnya yakni kebahagiaan dan tujuannya.
Ilmu mendasar pada akal, filsapat mendasar pada otoritas akal murni secara radikal pada kenyataan dan agama mendasar pada wahyu.
Prof. Nasroen, S.H., menerangkan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasar pada agama karena filsapat terkandung dalam agama. Bila filsafat tidak terkandung pada agama maka filsapat itu akan memuat kebenaran objektif karena segala sesuatunya dengan pikiran akal. Sedangkan kemampuan akal itu terbatas, dan tidak mungkin untuk menerima pada hal-hal yang gaib.


DAFTAR PUSTAKA

• Akrabi Shofie, Pendidikan Agama Islam, Gunung Pesagi. Bandar Lampung 2006
• Syadali Ahmad Mudzakir, Filsafat Umum, Pustaka Setia, Bandung 1997
• Suriasumantri Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sianr Harapan, Jakarta 2005
• "http://id.wikipedia.org/wiki/Agama"
• MH, Amin Jaiz, Pokok-pokok Ajaran Islam, Korpri Unit PT. Asuransi Jasa Indonesia Jakarta, 1980
• http://www.anneahira.com/ilmu/index.htm
• http://yudhim.blogspot.com/2008/01/hubungan-ilmu-pengetahuan-filsafat-dan.html

Senin, 05 April 2010

KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR


OLEH BUBUNG NIZAR


PEMBAHASAN
KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR

I. AL-QUR`AN
I. 1. QS. Al-Alaq 1–5
                        
Al-Alaq (Segumpal Darah)
Artinya : “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan (1) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2) Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha pemurah, (3) yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam (4) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui (5)”.

Sesungguhnya Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan adalah ayat-ayat mulia ini. Dia merupakan rahmat pertama yang diberikan Allah kepada para hamba-Nya dan nikmat pertama yang dicurahkan Allah kepada mereka, Dia merupakan peringatan tentang awal penciptaan manusia dari segumpal darah, dan sesungguhnya diantara kemurahan Allah SWT, adalah mengajarkan kepada manusia sesuatu yang tadinya tidak diketahuinya,
Maka Allah SWT mengangkat dan memuliakannya dengan ilmu. Inilah jabatan yang hanya diberikan Allah SWT kepada Bapak manusia Adam as, sehingga membedakannya dari malaikat, dan ilmu terkadang ada dalam benak, kadang-kadang dengan lidah, kadang-kadang bisa pula berada dalam tulisan dan bersifat mentalistik dan formalistik, kata formalistik memastikan ilmu berada pada tulisan, namun tidak sebaliknya.


I.2. QS. Ali-Imran 190-191
       •        ɧ14;                 • 
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang benar-benar yang berakal (190) Yaitu orang-orang yang mengingat Allah SWT, ketika berdiri, duduk dan berbaring, mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi : Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka lindungilah kami dari azab neraka”.

Allah SWT berfirman “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi” yakni ikhwal ketinggian dan keluasan langit, ikhwal kerendahan dan ketebalan bumi, serta tanda-tanda kekuasaan yang besar yang terdapat pada keduanya, baik tanda-tanda yang bergerak maupun yang diam di lautan, hutan, pepohonan, barang tambang, serta berbagai jenis makanan, warna dan bau-bauan yang bermanfaat “serta pergantian malam dan siang” yang pergi dan datang serta susul menyusul dalam hal panjang, pendek dan sedang. Semua itu merupakan penetapan dari yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman “Benar-benar terdapat tanda kekuasaan bagi orang-orang yang berakal”.

Sempurna dan bersih yang dapat memahami hakikat berbagai perkara, bukan seperti orang-orang yang tuli dan bisu, yang tidak dapat memahami yaitu orang-orang yang dijelaskan Allah SWT, dengan “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan dibumi yang dilalui oleh mereka sedang mereka tidak beriman kepada Allah SWT, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah SWT (dengan sembah-sembahan lain)” (QS. Yusuf : 105-106).
Allah SWT mencela orang yang tidak mau mengambil pelajaran dari makhluk-makhluk-Nya yang menunjukkan kepada zat, sifat, syariat, takdir dan tanda-tanda kebesaran-Nya. Allah memuji hamba-hamba-Nya yang beriman “yang mengingat Allah SWT ketika duduk, berdiri dan berbaring, mereka merenungkan penciptaan langit dan bumi” sambil berkata “Ya Tuhan kami, tidakah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia “Yakni tidaklah Engkau menciptakan makhluk ini dengan main-main, namun secara hak agar Engkau membalas orang-orang yang beramal buruk sesuai dengan apa yang telah mereka lalukan serta membalas orang yang berbuat baik dengan balasan kebaikan. Kemudian mereka menyucikan Allah SWT dari sifat main-main. “Maka lindungilah kami dari azab neraka” dengan upaya dan kekuatan-Mu dan mudahkanlah kepada kami dalam melakukan amal yang diridhai oleh Engkau dan kami, serta tunjukanlah kami kepada surga Na’im, juga lindungilah kami dari azab-Mu yang pedih. Mereka berkata “Maha suci Engkau” dari perbuatan menciptakan sesuatu dengan hak dan adil. Wahai zat yang Dia itu disucikan dari segala dzat kekurangan, kecacatan dan main-main”.

I.3. QS. At-Taubah : 122
              ɧ43;          

Artinya : “Tidak sepatutnya orang-orang yang beriman itu berangkat semuanya, Mengapa tidak pula berangkat satu rombongan dari tiap-tiap golongan itu untuk mempelajari perkara agama supaya mereka dapet memberikan peringatan kepada kaumnya bila telah kembali kepada mereka. Mudah-mudahan mereka bersikap hati-hati”.
Ayat ini merupakan penjelasan dari Allah SWT, bagi berbagai golongan arah yang hendak berangkat bersama Rasulullah SAW ke perang tabuk. Sesungguhnya ada segolongan ulama salaf yang berpendapat bahwa setiap muslim wajib berangkat untuk berperang. Apabila Rasul pun berangkat, oleh karena itu Allah SWT, berfirman : “Maka pergilah kamu semua dengan ringan maupun berat” (QS. Al-Taubah 41).

I.4. QS. Al-Ankabut : 19-20
         •              ɦ92;    •   •      

Artinya : “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan permulaan, kemudian Dia mengulanginya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (19) Katakanlah “Berjalanlah di muka bumi lalu perhatikanlah bagaimana Allah mencipta dari permulaan, kemudian Allah menjadikan sekali lagi, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (20)

Allah SWT memberitahukan tentang al-khalil a.s bahwasanya dia menegaskan hari kiamat kepada kaumnya dan mengingkarinya, penegasan itu melalui hasil penciptaan Allah SWT yang dapat mereka lihat pada diri mereka sendiri, setelah sebelum mereka bukan apa-apa dzat yang memulai penciptaan dari tiada adalah berkuasa pula untuk mengembalikannya. Dan itu mudah bagi-Nya. Penegasan itu juga dilakukan dengan mengambil pelajaran dari penciptaan langit dan bumi, makhluk-makhluk yang ada pada keduanya dan benda-benda yang ada dikeduanya menunjukan kepada adanya pembuatan sebagai pencipta yang mutlak yang mengatakan kepada sesuatu “jadilah” Maka iapun menjadi.

I.5. QS. Al-A’raaf : 179
  •                    ᠋2;           

Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan untuk jahanam sebagian besar jin dan manusia, mereka memiliki hati yang tidak mereka gunakan untuk memahami, memiliki mata yang tidak mereka gunakan untuk melihat, dan memiliki telinga yang tidak mereka gunakan untuk mendengar, mereka itu seperti bintang, bahkan lebih sesat. Mereka itu adalah orang-orang yang lalai.

Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya kami telah menciptakan untuk jahanam sebagian besar jin dan manusia” Yakni kami menyiapkan mereka untuk jahanam dan berperilaku penghuni jahanam. Hal itu karena tatkala Allah hendak menciptakan makhluk, maka dia mengetahui apa yang akan mereka lakukan sebelum keberadaan mereka, kemudian apa yang akan mereka lakukan itu ditulis dalam kitab. Hal itu terjadi 50 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi, sebagaimana hal itu dikemukakan dalam shahih muslim dari Abdullah bin Amr bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, yang artinya :
“Allah SWT, menetapkan takdir-takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum dia menciptakan langit dan bumi dan arasy di atas air” (HR. Muslim).

“Mereka memiliki hati yang tidak mereka gunakan untuk memahami, memiliki mata yang tidak mereka gunakan untuk melihat dan memiliki telinga yang tidak mereka gunakan untuk mendengar” Yakni mereka tidak memanfaatkan sedikit pun organ-organ tubuh yang telah dijadikan Allah SWT sebagai sarana untuk memperoleh hidayah. Allah SWT berfirman “Mereka tuli, bisu dan buta maka tidaklah mereka akan kembali” (QS. Al-Baqarah : 18), mereka tidak tulis, tidak bisu dan tidak buta kecuali terhadap hidayah. Hal ini difirmankan Allah SWT “Karena sesungguhnya bukan mata itu yang buta, namun yang buta ialah hati yang ada di dalam dada”. (QS. Al-Hajj : 46).

Firman Allah SWT “Mereka itu seperti binatang” yakni orang-orang yang tidak menyimak kebenaran tidak menyadarinya dan tidak melihat hidayat adalah seperti binatang yang dipelas yang tidak memanfaatkan organ-organ tubuh itu kecuali sekedar untuk memperoleh makanan dalam kehidupan lahiriah dunia. Binatang itu mendengar suara penggembalanya namun ia tidak memahami apa yang diucapkannya. Maka sehubungan dengan mereka Allah SWT berfirman “Bahkan mereka lebih sesat” dari pada binatang-binatang itu, sebab binatang kadang-kadang dapat menuruti penggembala walaupun ia tidak memahaminya, kemudian binatang itu berbuat menurut tujuan penciptaannya baik berdasarkan nalurinya maupun karena ketaklukannya. Hal itu berbeda dengan orang kafir, sesungguhnya Allah SWT menciptakan dia supaya menghambakan diri kepada Allah SWT dan mengesakan-Nya, lalu dia mengingkari dan menyekutukan Allah SWT, maka manusia yang taat kepada Allah SWT adalah lebih mulia keadaannya di akhirat daripada malaikat, sedangkan manusia yang kafir kepada-Nya adalah lebih buruk dari pada binatang. Oleh karena itu Allah SWT, berfirman “Mereka itu adalah orang-orang yang lalai”.

I.6. QS. Al-Baqarah : 269
                  

Artinya : “Allah menganugrahkan Al-Hikmah kepada siapa yang dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi AL-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan, hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari Firman Allah)”.

Firman Allah “Dia menganugerahkan Al-Hikmah kepada siapa yang dikehendaki” yakni pengetahuan mengenai Al-Qur’an menyangkut masalah nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, yang pertama dan yang kemudian turun, halal dan haram, serta masalahlainnya. Demikianlah menurut Ibnu Abbas.
Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ “Pangkah hikmah adalah rasa takut kepada Allah” Laits bin Salim berkata “Hikmah ialah pengetahuan, fiqh dan al-Qur’an” Abu Al-Alliyah berkata “Hikmah adalah rasa takut kepada Allah”. Ada pula yang mengatakan hikmah itu pemahaman, sunnah, akal dan menurut Malik adalah pemahaman terhadap agama, perkara yang dimasukkan Allah SWT, kepada kalbu yang berasal dari Rahmat dan karunia-Nya menurut As-Sadi hikmah ialah kenabian.
Demikianlah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah dari berbagai jalan yang bervariasi dan berasal dari Ismail bin Abi Khalid. Firman Allah SWT “Dan tidaklah mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang berakal” maksudnya tidaklah mengambil manfaat dari nasihat dan peringatan kecuali orang memiliki akal dan penalaran, maksudnya mengambil pelajaran dari khithab dan makna firman Allah SWT.
Menurut keterangan AL-Ustazul Imam, Syekh Muhammad Abdul, hikmah adalah ilmu yang ditetapkan di dalam diri, jadi hakim kepada iradah membawa manusia kepada beramal, manala amal itu terbit dari pada ilmu yang shahih adalah ia menjadi amal shalih lagi memberi manfaat yang membawa kepada kebahagiaan.

II. HADITS
II.1. Hadits Sohih Bukhori Jilid I

قَالَ حُمَيْدُ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ خَطِيْبًا يَقُوْلُ سَمِعْتُ النبَّيَِّ صلعم يَقُوْلُ مَنْ ُيرِيْدِ الله بِهِ خَيْرًا يُفَقِّه ُفى الِّدْينِ وَاِنَّمَا اَنَا قَاسِمٌ و 575;للهُ يُعْطِى وَلَنْ تَزَالْ هَذِهِ الاُمَّةُ قَائِمًا عَلىَ اَمْرِاللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَلَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِي امَرْ ُالله

Artinya : Humaid bin Abdurrohman r.a mengatakan bahwa ia mendenganr mu’awiyah berkhutbah katanya, “ Dia mendengar Rosululloh saw. Bersabda : “barang siapa dikehendaki Alloh akan beroleh kebaikan, diberi-Nya pengertian dalam hal agama. saya hanya membagi-bagikan, sedang yang memberi ialah Alloh selama (ummat islam) berdiri teguh diatas agama Alloh, tidak satupun penantang-penantang mereka yang sanggup membinasakan mereka sampai kiamat datang”.




DAFTAR PUSTAKA


 Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, 2, 3, 4 Muhammad Nasib Arrifa’I. Gema Insani Jakarta 2000
 Terjemah Tafsir Jalalein Jilid 1, 2, 3, 4 Imam Jalaluddin Al-Mahali dan Imam Jalaluddin as-Sayuti. Sinar Baru Bandung 1990.
 Tafsir Al-Qur`anul Karim Jilid 2, 3 H. Zaenal Arifin Abas, Firma Islamiyah Medan 1957
 Hamidy, Wijaya, Jakarta, 1959.
 Tarjamah Bukhori Muslim PT Widjaya Jakarta